Adiba kini kuliah memasuki semester tiga. Gadis itu tampak bersemangat mengikuti kegiatan seminar di kampusnya. Adiba terlihat cantik mengenakan baju lengan panjang, juga celana kulot dengan hijab berwarna hitam. Seorang pria menghampiri Adiba yang sedang memilih buku di tempat bazar yang ada di sana.
"Cari buku apa?"
Adiba sontak menoleh, lalu tersenyum menunjukkan buku yang ia pegang."Aku mau baca buku novel religi. Kayaknya seru deh" sahut Adiba.
"Mau temenin aku ngemil gak?" tanya pria itu menunjukkan camilan sekantung plastik yang ia jinjing."Kita ngemil di tangga sana" ucap pria berkacamata itu tersenyum.
"Boleh" sahut Adiba, lalu mereka berjalan beriringan dengan pria itu.
Mereka duduk di sebuah anak tangga sambil menikmati camilan. Adiba memandang ke arah depan dimana orang sibuk berlalu-lalang. Acara seminar buku kali ini berjalan lancar.
"Gimana seminar novel kamu?"
"Alhamdulillah lacar. Senang banget aku bisa jadi penulis sesuai dengan impian aku. Selain itu aku juga bisa membantu teman-teman penulis lainnya yang ingin mengadakan bazar buku"
Hening sesaat, sampai pria di samping Adiba mengeluarkan suaranya kembali.
"Adiba"
"Iya, Malik?" sahut Adiba pada pria yang berstatus sebagai calon tunangannya itu.
"Kamu masih belum bisa lupakan dia?" tanya Malik dengan tatapan penuh harap.
Adiba mendadak sendu, ia menatap Malik tak enak hati."Aku akan lebih berusaha lagi" sahutnya memaksakan tersenyum.
"Bukannya aku gak sabar, tapi Mama selalu tanyain kapan kita bisa bertunangan. Apalagi dua bukan ke depan aku akan wisuda. Mama udah maksa" ucap Malik memandang ke arah depan. Adiba tahu, pria itu cukup kesal padanya. Tapi mau bagaimana lagi, hatinya tak bisa dipaksakan untuk menerima cinta yang baru.
"Aku akan beritahu kamu secepatkan bagaimana keputusan aku, Malik" ucap Adiba, mengundang Malik untuk menoleh ke arahnya. "Janji ya?" ucapnya sendu. Adiba tersenyum sambil mengangguk.
Dari kejauhan, sosok pria dengan jas berwarna hitam menatap dua sejoli itu dengan senyum samar, namun ada luka pada senyuman itu.
Kamu sudah menemukan kebahagiaan yang sebenarnya, Adiba. Aku tak akan menganggu kebahagiaan itu.
***
Arhan memandang tempat dimana gubuk kotaknya pernah berdiri, namun sekarang sudah berganti dengan sebuah bangunan yang cukup tinggi. Kabarnya itu adalah sebuah pabrik yang akan mulai beroperasi beberapa bulan ke depan. Arhan berbalik, airmatanya menetes begitu saja. Ia mengingat masa-masanya dulu membesarkan Adiknya di sana. Bagaimana ia mencari uang dengan cara menjadi pemulung. Bolak-balik ke sumur untuk mengisi air agar kedua Adiknya bisa mandi. Lalu yang paling membekas adalah ketika Adiba sosok gadis pertama yang mendatangi gubuknya. Arhan tersenyum kecil ketika mengingat Adiba mengajari Adiknya membaca, menulis, dan bernyanyi. Arhan menghela napas berat, lalu berjalan kembali masuk ke dalam mobilnya. Mobil hitam itu melaju meninggalkan tempat tersebut bersamaan dengan mobil putih yang berhenti di sana. Mungkin takdir atau semacamnya, Adiba keluar dari mobil putih itu. Ia berjalan perlahan mengamati pemandangan di depannya. Gubuk kotak Arhan yang kini telah berubah menjadi sebuah bangunan megah. Mata Adiba mendadak sayu ketika segala kenangan kembali terputar di kepalanya.