Takdir Terindah

Mona Cim
Chapter #1

Kehidupan Arhan Danuar

Di sebuah gubuk emperan pembuangan sampah, tinggal seorang pria bersama kedua Adik kembarnya. Awalnya mereka memiliki kedua orangtua, tapi status yatim piatu harus menghampiri mereka bertiga. Tidak ada hal yang mengenaskan tentang kematian kedua Orangtua mereka, semua murni karena umur mereka sudah tua. Kini tanggung jawab penuh jatuh di pundak pria yang bernama Arhan Danuar, anak tertua. Hidup tanpa pendidikan dan harta sedikitpun, membuat Arhan harus besar hati menerima keadaan. Setiap malam ia selalu berpikir, apa yang harus ia lakukan supaya bisa membesarkan kedua Adiknya dengan layak. Aila dan Afdi adalah nama kedua Adik Arhan, yang sekarang berusia 6 tahun. Mereka berdua kembar pengantin. Tak jarang Arhan berpikir ingin menyekolahkan kedua Adiknya, supaya masadepan mereka lebih cerah. Bekerja hanya sebagai pemulung tak akan mencukupi kebutuhan mereka bertiga. Arhan yang kini telah berusia 18 tahun harus berjuang sekuat yang ia mampu, mengarungi dunia fana yang banyak penderitaan yang telah menyapanya. Jangankan untuk menyekolahkan Kedua Adiknya, tempat tinggal mereka pun jauh dari kata layak. Bahkan tak pantas di sebut rumah atau gubuk. Ini hanya kumpulan kardus yang di buat menyerupai rumah. Kadang Arhan menangis sendiri, ketika melihat pakaian yang di kenakan kedua adiknya. Cuma tiga pasang, dan itu harus langsung dicuci setelah digunakan.

Arhan mendesah berat, ia beranjak dari bilik kardus setelah menidurkan kedua Adiknya. Arhan berjalan menuju luar rumah kardus. Ia menatap langit yang sebentar lagi mungkin akan hujan. Bagaimana nasib gubuk kardusnya ini?. Dan adiknya baru saja tidur. Apakah mereka harus bangun dan menadah air?. Arhan tak sanggup membayangkannya.

"Ya Allah. Bukannya hamba menolak turunnya rahmat-Mu. Tapi hamba tak tau bagaimana nasib kedua adik hamba, jikalau hujan menerjang gubuk kardus kami" keluh kesah terucap pelan dan penuh kesedihan dari bibir tipis Arhan

Arhan baru teringat dengan air panas yang ia rebus di belakang gubuk. Arhan bergegas memutarkan badannya menuju belakang gubuk.

Sebuah tungku perapian, yang di buat Arkan untuk memasak ataupun merebus air. Cuma memanfaatkan kayu atau dahan kering sebagai bahan bakarnya. Semua peralatan lusuh namun masih bisa di gunakan, Arhan dapatkan dari tempat pembuangan sampah. Arkan menyalin air panas dari cirat alumunium kedalam termos. Usai memadamkan bara api yang tersisa, Arhan masuk kembali kedalam gubuknya.

Arhan merebahkan diri di samping kedua adiknya. Sesekali mengipaskan selembar kardus kecil untuk mengusir nyamuk yang mendekat. Allah menunjukkan kebesarannya, hujan tak jadi turun, cuma gerimis kecil yang kemudian berhenti begitu saja. Arhan mulai memejamkan matanya, ia harus tidur lebih awal agar besok dapat mulung lebih dahulu.

***

Usai sholat subuh, Arkan mulai berkutat di belakang rumah. Memasak sesuatu untuk kedua adiknya dan dirinya sendiri. Sarapan tak bisa di lewatkan. Walau sedikit, harus ada yang mengganjal perut mereka. Arhan mencongkel ubi kayu di pinggiran kandang bambu di belakang gubuknya. Ia mengambil dua ubi kayu dan merebusnya di tungku perapian.

Arhan termenung memandang ubi kayu yang ia rebus. Seukir senyum menghiasi wajahnya, ia terpikir suatu ide sederhana. Ia mengedarkan pandangannya pada tanaman singkong yang berjejer lumayan lebat di pinggiran pagar itu.

"Apa aku coba jualan ubi kayu aja ya. Tapi untungnya pasti sangat sedikit, kalau aku jual dalam keadaan mentah"

"Kalo seandainya ku buat ubi kayu ini menjadi keripik singkong, mungkin akan menambah nilai jual" Arhan tersenyum senang mendapatkan ide cemerlang.

"Tapi sebelum itu, aku harus mencari modal. Buat beli minyak, bumbu dan juga plastik bening. Aku akan bekerja lebih keras. Aku ingin kedua adikku sekolah tahun depan. Kalau tidak dari sekarang, lalu kapan" ujarnya tersenyum damai memandang langit pagi.

Arhan segera mengangkat ubi kayu yang sudah matang. Ia menaruhnya kedalam piring plastik. Arhan membawa ubi kayu yang ia masak ke dalam gubuk.

Arhan menaruh piring berisikan ubi itu di atas sebuah nakas bekas yang ia peroleh waktu mulung seminggu yang lalu. Ya, semua barang pekakas rumah itu hasil dari pungutan di pembuangan sampah, yang ia bersihkan lalu di gunakan kembali. Arhan menuju bilik tempat kedua adiknya tidur. Dengan lembut, Arhan membagunkan dengan menggoyangkan badan keduanya.

"Afdi, Aila. Bangun Dek, mandi dulu" ucap Arhan lembut.

"Eugh..." Afdi mengeliat lalu bangun dari tidurnya, Aila juga terbangun akhirnya.

Lihat selengkapnya