Susan mengempaskan beberapa foto cetak di hadapan Adiba yang duduk di sofa. Susan menatap Adiba dengan tatapan tajam, siap untuk mengeluarkan segala emosinya.
"Apa maksud kamu, Adiba? Kamu mau melawan sama Mamah? Mamah sudah bilang kalau gak pernah sudi kamu berteman sama cowok miskin itu. Apalagi sampai jatuh cinta, Mamah gak setuju!" ucap Susan sengit.
"Adiba cuma temenan sama Arhan, Mah. Lagian apa masalahnya kalau berteman dengan orang miskin? Toh berteman tidak boleh memandang status" sahut Adiba membela diri.
"Sekarang kamu melawan Mamah cuma gara-gara ingin membela cowok miskin itu? Sadar dong, Diba. Kamu itu siapa dan dia siapa. Kamu orang terpandang dan berpendidikan. Masa kamu berteman dengan anak pemulung itu!"
"Dia juga gak bisa memilh harus terlahir dalam kondisi apa. Tapi untuk berteman, kenapa pergi sesuai status? Apa orang miskin tak berhak memiliki teman? Mah, dimata Allah kita semua sama"
"Jangan sok ceramahin Mamah, kamu. Sekarang jawab Mamah dengan jujur, apa kamu suka sama cowok itu? Jawab, Adiba!" ketus Susan masih dengan tatapan tajam.
"Iya. Adiba suka sama Arhan semenjak pertama kali bertemu" sahut Adiba mantap. Susan dan Mita menggeleng tak percaya.
"Hei, Adiba. Kamu harus sadar, buka mata kamu lebar-lebar siapa yang sedang kamu sukai? Apa bagusnya dia? Hanya cowok pemulung yang tinggal di rumah kardus. Itu yang kamu sukai?"
"Mah, Arhan itu orangnya baik. Dia sosok lelaki yang penyayang dan bertanggung jawab. Dia gak malu mencari nafkah dengan pekerjaan apapun untuk menghidupi dirinya dan kedua Adiknya. Sekarang jarang ada lelaki yang seperti Arhan. Sebab itu Adiba suka sama Arhan. Dia sederhana namun berkualitas" ucap Adiba dengan pasti.
"Tapi dia tetaplah gak bisa memberikan kamu kebahagiaan. Dia sama saja tidak punya tempat tinggal, bagaimana kalau rumah kotaknya di gusur? Tidak ada masadepan yang baik jika kamu bersama Arhan asal kamu tahu Adiba!" tegas Susan.
"Sudah ya, Mah. Kita bukan sang pengatur takdir, jadi gak boleh asal ngomong takdir seseorang. Adiba masuk ke kamar dulu, permisi" ucap Adiba, lalu beranjak dari ruang tengah.
Mita yang sedari tadi mendengarkan pembicaraan mereka, lantas mendekati Susan setelah kepergian Adiba.
"Kakakmu jadi gak nurut semenjak bergaul sama cowok itu. Ini gak bisa dibiarin, Mita" ucap Susan cemas.
"Mamah gak usah khawatir. Nanti kalau Kak Adiba pergi berkunjung ke rumah cowok dekil itu lagi, kita langsung samperin dan damprat si Arhan itu. Biar dia tahu diri deketin anak orang" ucap Mita.
"Kamu benar, Mita. Nanti Mamah dan Papah yang ke rumah cowok miskin itu"
***
Masih sangat pagi, namun Arhan sudah memulai kegiatan rutinitasnya, yaitu memulung. Kakek Ihsan yang baru datang, lantas mendekati Arhan.
"Nak Arhan," panggil Kakek Ihsan.
"Eh, Kakek, pagi Kek" ucap Arhan tersenyum.
"Kamu sudah tahu kabar bahwa tempat yang kita tinggali akan di gusur?"
"Astaghfirullah. Kakek serius?" Arhan terperanjat begitu mendengar rumah kotaknya akan di gusur.
"Iya, Nak Arhan. Katanya sekitar satu bulan lagi untuk memberikan kita kelonggaran untuk mengosongi tempat ini. Kakek sendiri, akan pergi ke Bandung dan tinggal bersama anak Kakek. Yang Kakek khawatirkan itu Kamu dan Adik-adikmu. Kamu mau pindah kemana" tutur Kakek Ihsan dengan iba.
"Arhan juga gak tahu, Kek. Itu satu-satu tempat tinggal bagi Arhan dan Adik-adik. Kalau beneran di gusur, Arhan mau tinggal dimana" Arhan menunduk sedih. Ia tiba-tiba terpikir kedua Adiknya.