Arhan masih terpaku mendengar ungkapan cinta dari Adiba. Jantungnya berdegup tak karuan bingung harus berkata apa. Sedangkan Adiba sedikit menyampingkan badannya dengan kepala menunduk.
"Maaf jika kamu merasa gak nyaman dengan perasaanku ini, Arhan. Aku bisa kok hanya berteman. Aku tak berharap balasan" ucap Adiba memaksakan tersenyum.
"Saya pun cinta sama kamu, Adiba. Saya suka kamu juga" sahut Arhan, sontak membuat Adiba mengangkat kepalanya dan menghadap Arhan kembali.
"Ka-kamu serius, Han? Kamu juga suka sama aku? Lebih dari perasaan teman?" tanya Adiba mencoba menyakinkan.
"Iya, Adiba. Tapi saya cukup sadar dengan status. Saya gak pantas untuk mencintai kamu. Apalagi memilikimu. Saya tak punya apa-apa" ucap Arhan mendadak sendu.
"Siapa bilang, kamu pantes kok mencintai aku. Cinta gak pandang status, jabatan, umur, atau apapun itu. Cinta itu anugrah, dari hati" ucap Adiba sungguh-sungguh."Tolong jangan ngomong pantas gak pantas lagi, Han. Kita manusia yang punya derajat sama. Gak usah mikirin yang lain, itu cuma materi" lanjutnya.
"Tapi bagaimana dengan kedua Orangtuamu? Tidak mungkin mereka akan menerima saya menjadi pendamping anaknya. Saya katakan lagi, saya ini orang miskin. Rumah pun tak ada, apalagi pekerjaan layak untuk mencari nafkah. Pasti mereka akan berpikir masadepan kamu akan suram jika bersama saya" tutur Arhan sedih.
"Han, asal kamu mau berjuang, pasti akan ada takdir terindah buat kita. Jodoh Allah yang mengatur. Sekeras apapun Orangtuaku tak merestui, oada akhirnya kita akan bersama kalau sudah bertakdir. Kamu mau kan berjuang bersamaku, Han?" tanya Adiba penuh harap.
Arhan menatap Adiba yang menunggu jawaban. Kemudian Arhan tersenyum manis.
"Akan kuperjuangkan" sahutnya. Adiba lantas tersenyum bahagia.
***
Adiba memeluk boneka kelincinya erat. Ia begitu bahagia setelah pulang dari tempat Arhan. Apalagi mendengar pernyataan cinta dari Arhan tadi. Adiba benar-benar bahagia.
"Arhan, kamu harus berjuang buat aku. Buat Mamah dan Papah restuin hubungan kita" ucap Adiba berbicara pada boneka, seolah-olah itu adalah Arhan.
Adiba termenung sebentar, matanya menatap ponselnya yang tergeletak di atas nakas.
"Seandainya Arhan punya Hp. Pasti sekarang bisa berkirim pesan sama dia" gumam Adiba tersenyum.
Suara gemuruh hujan yang turun dengan deras, membuat Adiba sedikit terperanjat. Adiba berjalan menuju balkon kamarnya. Benar saja, hujan cukup deras telah mengguyur jalanan. Tiba-tiba saja ia teringat perihal gubuk kardus Arhan. Wajah Adiba menyendu dibuatnya.
"Pasti Arhan sedang panik dengan gubuk kardusnya. Ya Allah, tolong berikan mereka kemudahan. Agar Arhan dan kedua Adiknya dapat mengatasi ujian darimu" ucap Adiba.
Disisi lain, Arhan sedang menadah air hujan dengan berbagai wadah. Walau hujan tak begitu lebat, namun dapat menghancur gubuk kardusnya itu. Arhan kesana-kemari menahan air hujan agar tak membasahi barang yang menurutnya berharga.
"Kak, basah" adu Aila memperlihatkan punggungnya yang basah. Padahal mereka sedang tertidur.