Adiba menggeleng kuat, ia takut kalau Arhan menyetujui ucapan Mamahnya. Arhan terus terngiang ucapan itu, ia juga ingat kedua Adiknya. Arhan ingat janjinya akan mendahulukan kedua Adiknya dari perihal cinta.
"Saya sungguh mencintai, Adiba. Tapi kalau Om dan Tante gak restuin kami, maka Saya gak memaksa. Restu hal terpenting dalam sebuah hubungan. Maaf jika saya salah telah menaruh hati pada anak Anda. Tapi jikalau takdir mempertemukan kami kembali, maka itu bukan kuasa saya untuk menolaknya. Saya akan pergi dari kehidupan Adiba. Tolong jaga Adiba selalu dan sayangi dia. Saya permisi" pungkas Arhan dengan besar hati. Adiba menggeleng kuat dengan air matanya. Arhan untuk terakhir kalinya tersenyum manis untuk Adiba. "Semoga Allah mempertemukan kita kembali, Adiba" ucap Arhan sebelum pergi dari sana.
"Enggak Arhan! Jangan pergi! Aku cinta sama kamu, Arhan. Jangan tinggalin aku!" teriak Adiba histeris. Tangannya di pegangi oleh Susan dan Davin.
"Sudahlah Adiba! Biarkan dia pergi, ini yang terbaik untuk kalian" ucap Susan.
"Mamah sama Papah jahat sama Adiba. Adiba cuma cinta sama Arhan. Kenapa sih yang kalian pandang dari Arhan cuma materi? Kalian gak pernah pandang hatinya yang tulus dalam hal apapun!" tegas Adiba, lalu melepaskan diri dari pegangan kedua Orangtuanya. Tujuan Adiba saat ini adalah kamar. Ia ingin meluapkan semua hasrat sakit hatinya disana.
Arhan berjalan sambil menahan air matanya. Di kedua tangannya menggenggap tangan Aila dan Afdi.
"Kenapa kita pulang, Kak? Aila masih mau disana" ucap Aila bingung.
"Afdi juga suka makanannya enak"
Arhan tak dapat lagi menahan tangisnya. Ia menghentikan sebuah angkot, lalu masuk bersama Aila dan Afdi.
Di perjalanan, Arhan tak henti-henti mengingat segala ucapan Papah Adiba. Apalagi mengingat Adiba menangis saat ia pergi. Hati Arhan hancur radanya, air mata yang ia tahan tadi tumpah tanpa disadari.
"Kakak kenapa nangis?" tanya gadis kecil itu menatap Kakaknya.
"Kakak gak papa. Kakak cuma mau segerin mata, biar gak kering" sahut Arhan mencoba tersenyum. Arhan menyenderkan kepalanya pada jendela angkot. Pikirannya benar-benar kalut, hatinya gundah gulana.
Maafkan saya, Adiba. Saya gak bisa tepati janji buat berjuang sama kamu. Bagaimana pun juga, apa yang Orangtua kamu bilang itu benar. Kamu akan menderita jika bersama saya. Saya cinta sama kamu. Apapun yang terjadi saya tidak ingin kamu menderita dan hidup tak layak seperti saya. Biarlah takdir yang akan menjawab segala harapan dan doa kita.
Sesampai dirumah, Arhan langsung menyibukkan dirinya dengan kegiatan rutinitasnya, menjadi pemulung. Walau terbilang sudah hampir siang, namun Arhan bertawakal untuk mengais rezeki hari ini. Arhan meraih topi hitamnya dan mengambil karung kosong yang terselip di kursi.
"Aila, Afdi. Kakak mau kerja dulu ya. Kalian berdua jangan kemana-mana. Main di dalam aja. Kakak gak lama" ucap Arhan. Kedua Adiknya mengganguk mengerti. Arhan melangkahkan kakinya meninggalkan tempat tinggal itu. Paling tidak, bekerja untuk kedua Adiknya, mengurangi rasa sakit dihatinya karena kejadian yang baru saja ia alami.
***
Adiba belum juga berhenti menangis, bahkan sampai acara itu selesai ia membekam di dalam kamar. Pikirannya terus saja terngiang omongan kasar Papahnya dan wajah sendu Arhan ketika ia dihina. Adiba sakit mengingat itu.
Aku emang bodoh. Kalau saja aku tidak memaksa Arhan untuk datang, mungkin dia tak menerima penghinaan dari Papah. Kejadian pahit ini tak akan terjadi. Arhan, maafkan aku.