Hujan gerimis membasahi jalanan secara perlahan. Adiba termenung menyandarkan kepalanya di jendela taksi yang ia tumpangi. Entah apa yang ia pikirkan, namun taksi yang berhenti segera membuyarkan lamunannya.
"Sudah sampai, Non" ujar sopir taksi.
"Ini uangnya, Pak. Terimakasih" usai memberikan uang, Adiba keluar dari taksi sambil membuka payung yang ia bawa dari rumah.
Adiba melangkahkan kakinya menuju sebuah gubuk kotak dimana orang yang ia cintai berada disana. Tak ada penerangan di jalanan, hanya ada lampu semprong di depan gubuk Arhan yang menerangi tempat itu. Adiba perlahan melangkahka kakinya di depan tempat itu, dengan sedikit ragu Adiba memanggil nama Arhan.
"Assalamu'alaikum, Arhan!"
Arhan yang sedang menidurkan kedua Adiknya, lantas terkejut mendengar suara Adiba.
"Walaikumusslam" sahut Arhan ragu. Lekas Arhan pergi keluar untuk memastikan pendengarannya. Betapa terkejutnya Arhan melihat Adiba berada di luar.
"Adiba, kamu ngapain malam-malam kesini? Lagi gerimis pula" tanya Arhan cemas.
"Maaf aku gangu kamu, Arhan. Aku ingin minta maaf atas kejadian tadi siang saat acara. Aku benar-benar gak menduga Papah bakal hina kamu kayak gitu. Aku menyesal sudah egois, Arhan. Maafin aku" ucap Adiba menangis.
"Husstt, sudah jangan menangis. Saya cukup mengerti dan sadar diri. Apa yang Papah kamu bilang itu benar. Kamu gak bakal bahagia bersama saya. Saya pria tak mampu" ucap Arhan menunduk.
"Itu yang aku gak suka dari kamu, Arhan. Kamu suka merendahkan diri. Mana janji kamu mau berjuang bersama aku? Apa cuma karena omongan Papah kamu jadi menyerah secepat ini? Arhan, aku yakin kamu akan sukses nantinya"
"Saya juga yakin kalau akan sukses jika itu takdir saya. Tapi untuk mencapai itu, saya harus berjuang mati-matian. Dan Papah kamu, dia gak mau beri saya kesempatan untuk saya memperjuangkan kamu. Saya ingin tepat janji, tapi mungkin dengan cara yang berbeda"
"Cara berbeda apa maksudmu, Arhan?"
"Biarlah semua mengalir seperti air. Kita turuti alur cerita dari Allah. Kamu fokus pada pendidikan kamu dan cita-citamu. Sedangkan saya fokus untuk berusaha meraih kesuksesan. Saya akan berusaha mencari peluang untuk bangkit dari ketidakmampuan saya. Maka dari itu, omongan Papah kamu yang harus kita patuhi. Buat seolah-olah kamu mengiklaskan saya. Nanti kalau memang saya adalah jodoh kamu, kita pasti akan ketemu. Kamu harus sabar dan berdoa" ucap Arhan menahan gejolak emosi dalam dirinya. Matanya berkaca-kaca melihat sorot mata Adiba yang menampilkan rasa kecewa.
"Kita baru bertemu dan hanya sebentar bersama. Lalu apakah kita harus berpisah secepat ini juga?" tanya Adiba dengan tatapan cukup tajam.
"Adiba, tolong kamu sadar. Kalau kamu memaksaka kehendak, itu akan berdampak buruk. Kamu harus bisa menerima takdir hidup"
"Lagian masih ada cara agar kita bisa bersama" ucap Adiba memiringkan badannya menatap hujan yang turun perlahan.
"Maksud kamu, cara apa?" tanya Arhan penasaran.
"Kita kawin lari" sahut Adiba, sontak membuat Arhan membulatkan matanya dan menggeleng keras.
"Apa yang kamu pikirkan, Adiba? Kenapa pikiran kamu sependek ini? Apa kamu sadar apa yang barusan kamu ungkapkan?" tanya Arhan sedikit meninggikan suaranya.
"Aku sadar, Arhan. Lagian, kita akan kembali nanti pada Orangtuaku, kalau kamu sudah sukses dan bisa membuat mereka bangga. Aku yakin mereka bisa menerima kamu nantinya"
"Enggak, Adiba. Kalau kamu melakukan itu, sama saja kamu menentang Orangtuamu. Saya gak mau kamu menjadi anak yang durhaka karena saya. Tolong Adiba, kamu itu gadis yang beragama. Jangan sampai kamu termakan hasutan setan. Kamu yang sekarang bukan Adiba yang saya kenal"
"Jadi kamu gak mau melakukan bareng aku? Kamu rela hubunga kita sampai disini?" tanya Adiba kembali menahan isak tangisnya.
"Adiba..." lirih Arhan.
Adiba berpaling membelakangi Arhan. Mati-matian ia menahan isak tangisnya.