Ibu Seha
Pagi yang selalu cerah untuk kota Indramayu. Cahaya matahari menampar-nampar hamparan padang hijau di pelataran luas pesawahan. Lambat laun menghapus embun-embun bagi dedaunan. Di depan teras rumah, duduk di kursi yaitu seorang perempuan dengan sebuah koran yang dibacanya. Koran itu adalah koran langganannya, Suara Pena. Dari sekian banyak artikel dan surat kabar di dalam koran tersebut hanya ada beberapa naskah yang ia baca dan ia suka. Berlangganan di koran suara pena hanya untuk membaca sebuah naskah karya sastra.
Ia tinggal di sebuah rumah dengan seorang anak perempuan yang berusia sekitar 23 tahun.
"Bu, aku berangkat kuliah dulu" pamit perempuan itu kepada ibunya yang sedang asyik membaca koran.
"Dini, kamu lihat ini" ia menunjukan sebuah cerpen di dalam Korang yang ia baca.
"Nanti saja, Bu. Sudah siang takut terlambat" hardik dini kepada ibunya dan kemudian menyalaminya sebelum melaju ke kampus dengan motor bebeknya.
Perempuan tersebut masih fokus membaca sebuah cerpen yang ia baca itu. Sambil menghayatinya dan mencoba mencari makna yang tersirat di dalam cerita itu. Dia menyukai karya sastra semenjak anaknya, Dini yang kuliah dengan mengambil jurusan sastra Indonesia di salah satu universitas swasta di Indramayu. Kemudian dia sering melihat anaknya menulis banyak sekali puisi di buku jurnal milik anaknya. Terkadang ia juga sering melihat status di akun media sosial anaknya yang sering memunculkan kalimat-kalimat puitis. Ternyata sebuah kata bisa membius seseorang untuk menjadi candu.
"Ibu seha, asyik sekali kelihatannya sendirian" sapa seorang ibu dan suaminya yang lewat depan rumah yang juga hendak pergi meladang ke sawah.
"Eh iya nih, mampir dulu Bu idah sama pak Tarno" balas perempuan itu.
Ibu seha hidup hanya dengan anaknya. Sudah empat tahun yang lalu ia ditinggalkan oleh suaminya untuk menghadap sang khalik. Dia sadar bahwa usia yang sudah renta itu tak dapat lagi melakukan apa-apa. Semenjak ditinggal suami, ia tidak bekerja. Sawah milik suaminya ia sewakan semua, karena ia tak mampu menggarap sawah yang luasnya hampir satu hektar itu sendirian dan lagi anaknya adalah seorang perempuan, mustahil jika anaknya diminta untuk menyawah (menggarap sawah). Dari hasil sewa itulah ia dapat mencukupi sandang pangan dan biaya kuliah anaknya. Beruntungnya dia punya anak yang berprestasi. Sering mendapatkan beasiswa yang bisa menutupi biaya per semester. Jadi hanya uang saku saja yang perlu disiapkan untuk anaknya.
Melihat Bu Idah dan pak Tarno, ibu seha jadi teringat akan sosok suaminya.
"Suatu saat, aku ingin mati mendahuluimu" ujar seorang pria dengan penuh keistimewaan.
"Kenapa?"
"Karena aku tidak akan sanggup jika kamu yang lebih dulu dipanggil Tuhan. Aku tidak bisa hidup tanpamu"
"Lalu, kenapa kamu merasa aku sanggup hidup tanpa kamu?"