Rara memang menyimpan perasaan suka pada Rendi, tetapi ia tak pernah berani mengungkapkannya lebih dulu. Baginya, persahabatan mereka berempat—dengan Nisa dan Fajar—terlalu berharga. Rara takut, jika ia mengungkapkan perasaannya, persahabatan mereka akan berubah, bahkan mungkin renggang. Jadi, ia memilih menyimpan perasaan itu dalam hati dan menikmati kedekatan yang mereka bangun secara alami.
Seiring waktu, Rara dan Rendi semakin akrab. Di luar jam sekolah, mereka sering berkabar lewat pesan singkat di WhatsApp. Awalnya, obrolan mereka sederhana, seputar tugas sekolah, latihan bahasa Jepang yang kadang-kadang diajarkan Rendi, dan bercanda soal mimpi-mimpi mereka. Namun, seiring dengan kedekatan mereka, obrolan pun semakin dalam, menyentuh hal-hal yang lebih personal.
Suatu malam, saat Rara tengah bersiap tidur, ponselnya berdering. Sebuah pesan dari Rendi masuk.
> Rendi: “Rara, kamu udah lama ikut kelas modeling. Tapi aku penasaran, kamu serius banget mau jadi model?”
Rara tersenyum membaca pesannya. Ia langsung mengetik balasan.
> Rara: “Iya, Ren. Aku suka modeling, dan aku pengen bisa sukses di dunia itu. Kayaknya seru dan aku bisa ketemu banyak orang baru.”
Balasan Rendi datang cukup cepat, menunjukkan antusiasmenya dalam obrolan ini.
> Rendi: “Iya, sih. Tapi, dunia modeling itu banyak tantangannya, apalagi buat cewek. Kamu yakin siap buat hadapin semua itu?”
Rara terdiam sejenak, lalu membalas, “Aku tahu risikonya, Ren. Tapi aku udah banyak belajar dan berusaha menjaga diri.”
Beberapa detik kemudian, pesan balasan dari Rendi muncul, namun kali ini nada pesannya sedikit berbeda.
> Rendi: “Tapi aku khawatir, Ra. Di dunia modeling, banyak hal yang bisa bikin kita jauh dari prinsip agama. Kamu gak pernah terpikir buat berhijab dan coba hal lain yang lebih aman?”
Pertanyaan itu membuat Rara tercengang sejenak. Ia tidak menyangka Rendi akan mengutarakan kekhawatirannya begitu blak-blakan. Di satu sisi, ia senang karena Rendi memikirkannya, tetapi di sisi lain, pertanyaan ini membuatnya ragu. Setelah berpikir sejenak, Rara akhirnya membalas pesan Rendi.
> Rara: “Jujur, aku belum kepikiran buat berhijab. Tapi, makasih udah khawatir sama aku, Ren. Aku akan hati-hati. Ini mimpiku sejak lama, dan aku gak mau menyerah begitu aja.”
Rendi tak langsung membalas, membuat Rara mulai bertanya-tanya apakah ia telah berkata sesuatu yang salah. Namun, akhirnya pesan dari Rendi masuk.
> Rendi: “Aku paham kok, Ra. Aku gak maksud buat larang kamu. Aku cuma ingin kamu tetap aman dan gak lupa sama siapa kita sebenarnya. Kita masih muda, mungkin kadang kita perlu pikirin ulang soal apa yang bener-bener kita mau.”
Malam itu, percakapan mereka berakhir dengan suasana hati Rara yang campur aduk. Di satu sisi, ia merasa lega karena Rendi peduli padanya. Tapi di sisi lain, nasihat Rendi membuat Rara berpikir tentang arah hidupnya. Ia tahu, dunia modeling memang penuh tantangan, dan saran Rendi membuatnya lebih sadar bahwa ia harus lebih berhati-hati.
Esok paginya, Rara berangkat ke sekolah dengan perasaan campur aduk. Percakapan semalam dengan Rendi masih berputar-putar di kepalanya. Dia menyadari bahwa Rendi hanya ingin yang terbaik untuknya, tapi nasihat itu terasa begitu bertentangan dengan mimpinya sebagai model. Bagaimanapun, Rara adalah orang yang keras kepala; sekali ia menetapkan tujuan, ia akan berjuang mati-matian untuk mencapainya. Saran Rendi, meski datang dari orang yang ia suka, tetap terasa sulit untuk diterima.
Saat tiba di sekolah, suasana tampak seperti biasa. Nisa menyapanya dengan riang sambil mengajak Rara menuju kelas, sementara Rendi dan Fajar sudah menunggu di dalam. Ketika mereka berdua tiba, Rendi menatap Rara sejenak, memberi senyum tipis yang membuat Rara sejenak gugup. Namun, ia berusaha menyembunyikan kekhawatirannya dan tersenyum kembali.
Di sela-sela pelajaran, Rara merasa resah. Ia merasa ingin bertanya lebih lanjut soal pandangan Rendi, tetapi takut percakapan itu justru akan memperkeruh suasana. Di saat istirahat, saat mereka berkumpul di kantin, suasana sedikit canggung di antara mereka. Fajar, yang tidak tahu soal percakapan semalam, dengan santai bercanda seperti biasa.
“Hei, Rara! Kamu serius mau jadi model? Aku bakal jadi bodyguard-mu kalau kamu udah jadi model internasional!” katanya sambil tertawa.
Rara tertawa kecil. “Ya, siapa tahu aku butuh pengawal sekuat kamu, Fajar,” balasnya, berusaha tetap ceria.
Nisa ikut menimpali, “Aku mendukungmu, Ra! Tapi kalau kamu sukses nanti, jangan lupa ajarin aku matematika, ya!”
Di saat yang sama, Rendi tampak diam sambil memperhatikan mereka. Rara menangkap pandangan Rendi yang sesaat berubah serius, dan akhirnya ia memberanikan diri untuk bicara.
“Rendi, soal yang kamu bilang semalam itu…” Rara memulai, suaranya nyaris berbisik.
Rendi menoleh, terkejut tapi tetap tenang. “Iya, kenapa, Ra?”
“Aku tahu kamu khawatir, tapi aku tetap ingin mencoba. Modeling itu mimpi aku, Ren. Aku tahu risikonya, tapi aku akan tetap jaga diriku,” Rara berkata mantap, meski di dalam hatinya ada rasa ragu.
Rendi menatapnya sejenak, lalu mengangguk. “Aku ngerti, Ra. Aku gak maksud ngelarang kamu. Aku cuma... nggak mau kamu terjebak di tempat yang bisa bikin kamu jauh dari prinsip kita.”
Rara menunduk, merasa sedikit tersentuh oleh perhatian Rendi, meskipun ia tak ingin mengakui seberapa dalam ia merasakan kekhawatiran itu. Seiring obrolan mereka yang mulai terasa lebih ringan, Nisa, yang tampaknya mendengar sebagian percakapan itu, tertawa kecil.
“Kalian ini ngobrol serius banget, sih! Udah, yang penting kalian saling dukung aja,” kata Nisa sambil tersenyum.
Rendi dan Rara pun hanya saling berpandangan sejenak dan tersenyum kecil. Rara menyadari, meskipun ia keras kepala, memiliki sahabat yang peduli dan mendukungnya tetaplah hal yang penting. Dan meskipun ia tak bisa mengabaikan mimpinya, nasihat Rendi membuatnya semakin sadar akan pentingnya menjaga diri. Meskipun ia mungkin tak berubah secara drastis, setidaknya ia akan melangkah dengan sedikit lebih hati-hati—dan tentu saja, dengan perasaan hangat karena ada sahabat-sahabat yang selalu ada di sisinya.
Pelajaran pun dimulai, dan pagi ini kelas mereka dijadwalkan untuk mata pelajaran IPA Fisika dengan topik listrik dinamis—salah satu favorit Rara. Begitu Bu Dewi, guru IPA mereka, masuk ke kelas, Rara langsung duduk dengan antusias, siap menyerap materi.
“Selamat pagi, anak-anak! Hari ini kita akan membahas listrik dinamis. Ada yang tahu apa itu arus listrik?” tanya Bu Dewi sambil tersenyum ke arah kelas.
Rara langsung mengangkat tangan, matanya berbinar. “Arus listrik itu aliran muatan listrik, Bu, yang bergerak dari titik dengan potensial tinggi ke titik dengan potensial rendah melalui penghantar,” jawabnya dengan semangat.
“Bagus sekali, Rara!” Bu Dewi memuji. “Kalian lihat, Rara sangat memahami konsep ini. Listrik dinamis penting untuk kita pelajari karena konsep ini banyak diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari alat-alat rumah tangga sampai teknologi yang lebih canggih.”