Hampir dua jam lamanya, aku menunggu antrean di depan pintu yang bertuliskan Ruang Dokter Anggia. Rupanya hari ini terlalu banyak pasien yang datang berobat ke rumah sakit umum di kota kecil ini. Ini kali kedua aku menemani Rama. Sejujurnya aku enggan menemaninya karena aku tak begitu suka dengan tatapan dokter Anggia kepadaku saat pertama kali.
Rama duduk di sampingku, menekuri jemarinya. Perasaan carut-marut membuat tangannya berkeringat. “Temani aku.” Tiba-tiba Rama meremas tanganku dengan kuat. Aku mengangguk lemah dengan tatapan redup.
Rasanya aku belum siap kalau aku harus mengetahui kenyataan, Rama sakit. Rama kembali menatapku dengan wajah cemas ketika namanya terdengar dari pengeras suara yang dipasang di sudut plafon rumah sakit. Aku menarik sedikit kedua sudut bibir seraya menahan gelembung udara yang tertahan di dada lalu mengatupkan pelan kedua mataku sebelum kemudian aku dan Rama memasuki ruangan dokter Anggia.
Anggia, perempuan berusia sekitar empat puluh lima tahun itu bekerja di rumah sakit umum ini sebagai seorang psikiater. Meski usianya tak lagi muda, tapi menilik rupanya yang bersih terawat, ia terlihat cantik meski dengan kulit sawo matangnya.
Ruangan Dokter Anggia sederhana, tapi nyaman. Banyak buku berjejeran yang tersusun rapi di raknya. Buku-buku tentang kesehatan mental juga beberapa jurnal hasil penelitiannya selama ia menjadi seorang psikiater. Di sudut ruangan, di atas meja, kepulan jelaga berwarna putih dengan aroma rosemary memberi efek relaksasi dan tenang saat pertama kali kami masuk ruangan.
Aku dan Rama duduk, sesaat setelah dokter Anggia menyalami kami.
“Pak Rama, bagaimana kabarnya? Sudah lebih baik?” tanyanya dengan ramah.
Rama mengangguk pelan. “Baik Dok, tapi…” Rama kembali menatap nanar kepadaku.
Rupanya dokter Anggia tahu, tatapan Rama membuat aku canggung. “Apa masih ada yang mengganjal Pak?” tanya dokter Anggia setelah mengalihkan pandangannya kepada Rama.