Selesai dari toilet, aku duduk dijejeran pasien yang masih mengantre untuk bertemu dokter Anggia. Bagaimana bisa aku menghabiskan waktu di dalam ruangan dokter Anggia dan mengetahui kenyataan psikis suamiku sudah rusak, serusak-rusaknya karena ulahku. Semenjak aku tak lagi peduli dengannya, ia bagai diderai kedukaan yang besar karena kecintaannya kepadaku melebihi kecintaannya pada Tuhan.
Sering kukatakan, jangan pernah berharap dan menggantungkan mimpi terlebih cinta yang begitu agung pada manusia, meskipun aku sendiri adalah isterinya. Bagaimana bisa aku paham dengan pola pikirnya, yang menjadikan aku satu-satunya alasan ia bertahan hidup.
Sekitar sepuluh menit berlalu. Pintu ruangan dokter Anggia terbuka. Rama keluar. Tangannya memegang secarik resep yang kuyakini obat anti depresan seperti biasanya. Sudah hampir tiga bulan, Rama memang kesulitan tidur. Saat malam menjelang, Rama selalu mengeluhkan seluruh kakinya terasa panas dan asam lambung naik hingga ia didera rasa mual yang luar biasa. Belum lagi, disusul jantung yang terasa empot-empotan. Di saat itulah Rama semakin terpelatuk. Pikirannya hanya satu, IA TAKUT MATI.
“Dosisnya ditambah.” Rama menyodorkan resep itu kepadaku. Aku mengangguk tanpa mengambil resep itu dari tangannya.
Lagi-lagi, kulihat kursi tunggu resep sudah berjubal dengan orang-orang. Aku dan Rama memilih menepi ke dinding setelah menyerahkan resep itu kepada apoteker yang memakai seragam putih. Hari ini aku izin tidak masuk kerja. Begitupun juga dengan Rama. Meskipun sebenarnya sungguh sangat malas jika aku harus dihadapkan dengan kerumunan orang-orang seperti sekarang ini. Namun, demi Rama. Tepatnya, demi agar keluarga Rama tak menyalahkanku.
Rama pernah mengadu kepada ibunya. Perihal aku yang menolak untuk menemaninya bertemu dokter Anggia. Sesungguhnya tidak ada niatku untuk tak mengurusi Rama, tapi aku hanya belum siap menerima kenyataan Rama sakit, benar-benar sakit. Tak pernah kubayangkan sebelumnya, ini akan terjadi pada Rama.