Pagi itu, Dokter Anggia, baru saja selesai melakukan kunjungan pertamanya. Aku datang menghampiri. Membawakan secangkir lemon tea hangat tanpa gula dan beberapa potong roti bakar untuk Dokter Anggia.
Dokter Anggia duduk seraya membuat catatan penting di buku sakunya.
“Diminum dulu.” Aku mengulurkan cangkir perlahan.
Dokter Anggia menoleh, menyambut dan mengisapnya sedikit kemudian meletakkannya di meja setelah ia menyimpan catatan miliknya di atas pangkuannya.
“Bagaimana?” tanyaku dengan suara hampir terdengar seperti berbisik.
“Baik-baik saja kan?” Aku memastikan. Duduk berseberangan dengan Dokter Anggia.
Dokter Anggia menggeleng pelan. “Aku sering mendapati seseorang seperti Rama.”
“Denial.”
“Maksudnya? Rama menolak?” tanyaku menerka.
Perempuan berjas putih mengangguk. “Tiga puluh menit. Rama tak mampu bicara apapun.”
“Tapi aku bisa melihat di kedua matanya menyimpan banyak kesedihan dan rasa bersalah.”
“Orang seperti Rama ini sering aku temui. Biasanya itu terjadi karena mereka sangat terpukul dengan rasa penyesalannya.”
“Apa kamu tahu sesuatu hal?” tanya Dokter Anggia membuka kembali catatannya.
Aku menggeleng sembari berpikir. Mengingat hari-hari yang sudah berlalu.
“Apa Rama pernah membuatmu kecewa? membuat kepercayaanmu hilang? Mungkin?”
“Seingatku…” Aku menggeleng lemah.
"Atau ... Justeru kamu yang telah membuat Rama kecewa, Sinta?" Dokter Anggia menatap sinis padaku.