Takdir yang Tak Pernah Kusepakati

Shinta Puspita Sari
Chapter #10

Chapter #10

MALAM itu sepulang aku menebus obat untuk Rama, kulihat Gaza sudah tertidur di kamarnya. Aku duduk di sofa, mencoba menikmati siaran televisi yang menyiarkan berita infotainment. Berita artis yang tiba-tiba saja bercerai. Padahal dalam kesehariannya di balik layar kaca, pasangan itu terlihat harmonis. Bahkan dalam berita yang biasa disajikan dalam trending, mereka masuk ke dalam peringkat lima besar pasangan artis yang jauh dari isu pernikahan.

Suara dari layar kaca hanya menjadi latar samar karena nyatanya suara itu kalah oleh hiruk-pikuk kegelisahan yang berputar di dalam kepalaku. Berisik, penuh percakapan yang kuperankan sendiri, berdebat, dan bertanya tentang kesalahan apa yang kuperbuat hingga aku harus menjalani takdir yang kurasa tak pernah kusepakati. Sungguh isi kepalaku kontras dengan wajahku yang terlihat tenang.

Rama menghampiri dan duduk di sebelahku. Dia diam tak berkata apapun. Begitu juga denganku. Ada jarak di antara kami. Bukan jarak fisik, tapi jarak yang terlahir dari sebuah kumpulan rasa yang selama ini menggelayut dan sulit untuk diungkapkan.

Tak berapa lama, Rama kembali bersikap aneh. Sesekali, Rama membetulkan posisi duduknya, seperti tak nyaman. Rama terlihat begitu cemas. Aku melirik tipis dengan ekspresi datar saat kuambil ponsel yang berada di sampingku. Rama kembali duduk tenang setelah beberapa saat ia tak bisa diam sama sekali. Aku mengembuskan napas perlahan dan meyakinkan diri Rama baik-baik saja.

Namun, baru saja kuakhiri keyakinan itu, Rama kembali bangkit dari duduknya. Membuka semua laci nakas. Rama seperti mencari sesuatu yang ia sendiri tak mengerti, benda apa yang ingin Rama cari. Kepalaku seketika langsung terasa seperti dipenuhi kabut berwarna kelabu yang makin lama semakin menghitam. Kabut yang perlahan menggerogoti otakku dan membuat aku seperti kehabisan nalar.

Di sudut lain pikiranku, Gaza muncul. “Ayah gila ya, Bun?" pertanyaan itu kembali menggema di telingaku. Bagaimana mungkin aku menjelaskan bahwa ayahnya tidak gila. Ayahnya hanya depresi. Lantas apa bedanya gila dengan depresi. Bagaimana aku bisa meyakinkan diriku sendiri jika aku telah kehilangan keyakinan kalau Rama baik-baik saja jika menelusuri tingkahnya akhir-akhir ini seperti. Ah! Sudahlah. Pikirku.

Setelah Rama tak mendapati apa yang ia cari, Rama kembali duduk. Hanya beberapa detik saja sebelum kemudian ia kembali berkelintaran tanpa arah di hadapanku. Dan itu terjadi berulang tentunya dengan tubuh gemetar dan wajah kalut.

“Bisa duduk tenang?” suaraku terdengar begitu tegas.

Rama buru-buru duduk. Wajahnya mendekat. Ia memandangiku dengan wajah seperti ditarik kencang, tegang.

“Jangan tinggalkan aku Sinta!” Ia mengguncang kedua bahuku dengan kencang.

Aku mulai ketakutan. “Siapa yang akan meninggalkanmu?” seruku dengan dada yang menggelepar hebat. Kulihat matanya sudah bukan mata milik Rama.

Lihat selengkapnya