"Dingin kabut masih menyelimuti undukan bumi tertinggi. Di tempat itu sepenuhnya aku membenamkan diri. Langit yang tadinya cerah seolah ikut mengerti kalut dalam hatiku. Perlahan ia ikut murung dan mengundang awan gelap untuk ikut berpesta pora. Sebentar lagi akan ku turunkan badaiā¦ bisik tuhan. Kita rayakan rasa sesak di semesta yang begitu luas. Kenyamanan akan sulit di dapat kan. Kebahagiaan akan sulit terukir. Seperti roket kau melesat hilang dengan hitungan detik. Dengan satu kali sentuh menembus awan bergumpal bagaikan bantal. Sebelum hirupan nafas ku keluarkan kembali. Secepat itu kau berpamitan pergi. Jangan pergi, aku ingin coba sekali lagi, bisikku. Tanpa menoleh kau sudah lagi tak bisa ku peluk dalam pandangan mata, hati, begitu juga fisikmu.
Kapan air mata akan mengering ? Aku lelah mengeluarkan sungai sungai kecil di pipi ini.
Segudang pertanyaan yang telah kutemukan jawabanya.
Aku tidak mau tumbuh besar. Biarkan aku hidup di dunia yang lain. Lirih memohon kepada langit. Aku berharap selamanya tuhan tak pernah mengirim ku ke bumi. Tapi jika aku tidak turun kebumi maka aku tidak akan pernah merasakan perjuangan yang di rasakan manusia lainnya.
Pahit, manis, kecut, pedas, asin, bahagia, cinta, hidup, perjuangan maka saat itulah aku akan menjadi manusia paling Rugi sejagat raya."
~~~oo0oo~~~
"Aku ingat sekali kejadian tersebut." ucap Fadhilah dengan mengusap air mata yang telah membasahi pipi nya, make-up nya mulai luntur.
'Akulah, si Anak kecil yang paling di tunggu-tunggu kehadirannya oleh orang- orang di Pulau ini."
Pak Oden terdiam mulutnya terngaga tanpa di sadari. Pak Presiden tetap dalam posisi duduknya, mendengarkan cerita dengan fokus tanpa berpaling.