Ini hari minggu dan orang macam apa yang bertamu pada pagi buta seperti ini, pikir Ranu yang terbangun oleh bel rumah yang tidak henti-hentinya berbunyi. Dari jendela, Ranu mengintip ke luar, tampak seorang Pria paruh baya yang hanya menggunakan sarung dan singlet, serta dibuntuti dua orang berbaju cokelat.
“Aduh, Pak Bahar, pasti dia marah-marah lagi, nih.” Ranu membuka pintu lalu berjalan ke pagar, bagai murid yang tidak mengerjakan tugas dan tahu kalau sebentar lagi ia akan dimarahi. “Selamat pagi, Pak. Tumben, pagi-pagi sudah ke rumah. Mari masuk, Pak, nanti saya buatkan kopi.”
“Tidak perlu, Nak Ranu.” Jika Pak Bahar berbicara, maka pasti orang asing akan melihatnya seperti tidak membuka mulut karena kumis yang rimbunnya dapat disandingkan dengan Hutan Amazon itu menutupi gerak bibirnya. “Saya kesini bersama dua orang ini ingin mengatarkan ini.” Sebuah map cokelat disodorkan. Lalu Pak Bahar dan dua orang itu pamit.
Ranu membuka isi map itu sambil melangkah masuk. Tenyata Irman sudah bangun.
“Itu apa, Kang?”
“Oh, ini adalah tiket aman dari Pak Bahar untuk kamu dan Intan.” Ranu lalu menuju ke kamar mandi yang letaknya di bawah tangga, “Intan! Itu kartu keluarga yang baru udah ada!” teriak Ranu.
Yang keluar bukan hanya Intan, tapi juga Adinda dan Putri. Lalu mereka bertiga turun. Seperti semut pada gula, dua setengah wanita itu mengerumuni Irman serta selembar kartu keluarga.
“Wah, ada nama Kak Intan dan Kak Irman tertulis di sini.” Putri merebut kartu keluarga dari tangan Irman.
“Statusnya sebagai Famili Lain,” Adinda menegaskan. “Wah, selamat, ya, kalian berdua.”
Ranu keluar dari kamar mandi, “Kamu mau masuk ke kartu keluarga itu juga, Din? Masih ada enam kolom lagi, kan? Sekalian penuhin, aku mau bikin tim futsal.”
“Jangan seneng gitu, dong, Ran.” Intan menggoda.
“Seneng apanya, pasti Kang Ranu berdebat dengan Petugas Kependudukan, karena Petugas itu tidak percaya kalau kamu itu perempuan.” Irman mengambil langkah seribu dan mengunci dirinya dalam kamar mandi.
*****
Seorang Wanita muda dengan gaya rambut ponytail yang mengenakan nothed collar dress putih bermotif kotak-kotak serta flat shoes berdiri di depan meja kasir. “Saya mau pesan taro latte dan makaroni jamur saus keju.”
“Siap, Mbak.” Irman mendongak, “Mohon ditung ..., Putri! Aku kira pelanggan betulan.”
“Tolong, ya, Kak.” Putri mengamati sekitar, “Satu, dua, tiga... wah! Ada enam meja yang terisi. Kalau dikali empat berarti ada dua puluh empat orang di sini. Ramai banget hari ini, ya, Kak?”
“Iya, masih ada dua meja lagi, tuh, yang kosong.”
Kedai ini sudah berdiri sangat lama. Bahkan sejak Abah Imam belum menikah.
“Ran, Put, makan, yuk! Udah waktunya makan siang.” Intan berlalu ke meja yang kosong, “Man, sini! Ayo kita makan.”
Walaupun sedang makan siang, secara bergantian mereka akan melayani pelanggan yang baru datang.
“Biar aku aja.” Ranu beranjak ke meja kasir untuk melayani pelanggan yang ingin memesan.
“Put, kamu sudah tau mau kuliah di mana?” tanya Intan.
“Belum tau, Kak.”
“Kalau bisa cari yang bagus sekaligus biayanya yang terjangkau. Kasian Kakakmu itu, makin hari makin kurus saja, yakan, Man?”
Irman tersedak saat medengar apa yang keluar dari mulut kawannya itu, “Maksudnya Intan tuh....”
“Iya, aku paham kok.” Bibirnya tersenyum, tapi matanya berkaca-kaca. Putri berusaha membuat dirinya terlihat baik-baik saja, padahal tidak.
Ranu kembali ke meja, lalu duduk dan melihat orang-orang ini, Putri menyembunyikan kedua matanya, Irman menyenggol lengan Intan. “Ini pada kenapa, sih? Tan?”
“Ini, Ran. Tadi ....” Tiba-tiba handphone Ranu bergetar, ada panggilan masuk.
Setelah melihat nama yang tertera di layar handphone-nya, Ranu sedikit menjauh dan membelakangi mereka. Ranu bicara sangat pelan, hampir seperti berbisik-bisik. Melihat itu, Intan jadi curiga sekaligus penasaran, ia pun mendekati Ranu.
“Iya, secepatnya.” Ranu menutup telepon dan menemukan Intan sedang bertolak pinggang dan memiringkan sedikit kepalanya.
“Siapa? Wanita itu lagi? Sekarang dosa apalagi yang kamu buat? Lupa kejutan ulang tahun atau telat kasih kabar?” Intan bertanya dalam satu kali tarikan nafas.
“Bukan apa-apa.” Ranu melewati Intan lalu tiba-tiba ia berbalik, “Harusnya kamu jadi rapper. Kamu ....”
“Kamu harusnya jadi badut! Dengan kostum warna-warni, kamu menghibur banyak orang dan selalu terlihat bahagia. Kamu merias wajah seolah-olah sedang tersenyum untuk menyembunyikan kesedihan. Hidung yang memerah dan eyeliner yang meleleh persis seperti orang yang sedang menangis. Akui saja kalau kamu sedang sedih! Terima saja sakitnya! Belum kenal diri sendiri sepenuhnya, sok-sokan menganggap diri baik-baik saja.” Kata-kata Intan menyambar bagai kilat. “Apa? Kamu mau marah? Kamu mau marah soal apa? Telan marahmu untuk dirimu sendiri.”