TakdirNya Selalu Menang

Janet Pernando
Chapter #3

Sebuah Pilihan

Hari senin adalah hari yang paling dibenci bagi mereka yang tidak menikmati pekerjaannya, apalagi senin pertama setelah libur panjang. Kedai ini penuh dengan para pelanggan yang saling bercerita tentang liburan mereka dan mengeluh karena harus mencicil pekerjaan yang menumpuk.

“Udah waktunya makan siang, nih. Yuk!” Intan mengajak Putri dan Ranu yang sedang sibuk di meja kasir.

“Kamu sama Irman aja. Nanti juga kalian, kan, aku tinggal,” ucap Ranu.

“Betul, Kak!” Putri menambahkan.

“Yaudah.” Intan pergi ke luar kedai sambil membawa makanannya karena tidak ada meja yang kosong di sini.

Irman keluar dari dapur sambil mengangkut pesanan, “Put, ini pesanan meja nomor berapa, ya?”

“Bakso bakar dan ..., nomor delapan. Biar aku aja, Kakak makan siang dulu.” Lalu Putri yang mengantarkan makanan tersebut.

“Gimana, Kang?”

“Bener kata Putri, kamu susul Intan sana! Dia juga lagi makan siang.” Ranu sedang menghitung total biaya dari pesanan pelanggan yang ada di depannya, di depan meja kasir.

“Di mana Wanita itu?”

“Mungkin di taman.” Ranu menyerahkan uang kembalian, “Terima kasih sudah datang.”

Sesampainya di taman, Irman agak kesulitan mencari Intan. Lalu ia berjalan memutari taman. Ada bunga yang layu dan bau bangkai hewan, pasti Intan ada di dekat sini, pikirnya. Benar saja, Irman melihat Intan sedang duduk di bangku taman, “Maaf, Nona, boleh saya duduk?”

“Duduk dan dengar!”

Irman pun duduk. Tampaknya Intan akan membahas sesuatu, pikirnya. “Boleh makan juga?”

“Iya.” Intan memindahkan makan siang yang telah habis dari pangkuannya. “Man, kamu enggak keberatan, kan? Kalau sekarang kita kerja lebih keras buat bantu Ranu.”

“Enggak sama sekali. Lagian Kang Ranu dan keluarganya udah baik sama aku, sama kita.” Sambil sedikit demi sedikit mengunyah roti bakar selai nanas.

“Iya. Dulu waktu kita sering main ke rumah Ranu, si Abah baik banget, sering kasih kita makanan, baju, sampai uang. Bahkan ketika Abah tau kalau kita tinggal di panti, dia langsung ke panti untuk mengadopsi kita, walaupun gagal karena masalah dokumen.”

“Tapi sekarang, kan, kita sudah jadi keluarga Almarhum Abah, sah dan resmi. Walaupun sebenarnya jauh sebelum ini, kita sudah dianggap anak sama Abah.”

“Kamu tau darimana?”

“Dulu, waktu Abah masuk rumah sakit, Almarhum bilang itu ke aku. Terus Almarhum minta supaya anak-anaknya selalu akur, gitu.” Ia sudah selesai dengan dua lembar roti bakarnya. “Makanya kamu jangan berantem terus sama Kang Ranu.” Irman menghabiskan air mineral yang ia bawa.

“Iya, tapi itu juga buat kebaikan dia. Supaya dia kembali ke jalan yang benar.” 

“Kayak yang udah bener aja. Lagian ....”

Tiba-tiba handphone Intan bergetar, ada panggilan masuk. “Panjang umur si Ranu.” Lalu ia menjawabnya, “Iya, Ran. Kalian mau berangkat? Yaudah aku ke sana.” Intan berlalu, “Kalian enggak makan dulu?” meninggalkan Irman.

“Kembali ke jalan yang benar, apanya? Buang sampah aja masih sembarang,” ucap Irman sambil membereskan sampah mereka berdua dan membuangnya ke tempat sampah.

*****

Lihat selengkapnya