Tidak seperti kemarin, langit malam ini sama jernihnya dengan danau yang airnya berdenyut halus, menyentuh lembut sampan, dermaga, dan akar-akar pohon. Danau yang letaknya hanya beberapa meter dari rumah Aki Wahid. Putri sedang duduk di atas sampan yang terayun-ayun pelan, yang terikat kuat ke sebuah pancang. Ia memperhatikan langit yang penuh dengan bintang, yang sulit ditemukan di kota karena di sana terlalu banyak polusi cahaya. Untuk apa Tuhan menciptakan langit seindah ini? Jika bukan untuk menunjukan Kekuasaan-Nya, pikirnya.
“Nih, Kakak buatin teh manis dan singkong rebus,” ucap Adinda yang datang menghampiri Putri.
“Terima kasih, Kak.” Baju tebal, teh manis hangat, dan singkong rebus yang baru matang adalah kombinasi yang sempurna di dinginnya malam. “Andai Kak Ranu ada di sini.”
“Iya.”
“Kemarin itu, Kak Sinta yang berbicara di telpon, kan? Ada masalah apa, ya, Kak? Sampai Kak Ranu buru-buru pulang.”
“Enggak tau. Waktu Kakak angkat telpon, Sinta langsung minta berbicara dengan Ranu. Tapi kalau dari nadanya, sih, Sinta kayaknya lagi marah sama Kakak kamu. Ya, semoga aja bukan masalah besar.”
“Semoga, ya.”
*****
Pagi ini terasa berbeda bagi Ranu, bukan karena mendung yang menyelimuti kota, melainkan masalah-masalah yang tercurah dengan hebatnya, yang bisa jadi derasnya melebihi hujan yang sebentar lagi akan turun. Pada jendela, ia meletakan pandangannya. Kilat yang muncul tiba-tiba, sama sekali tidak menggetarkan kelopak matanya. Lalu ada seseorang yang berdiri di hadapannya, menjadi pembatas antara dirinya dan jendela.
“Sinta?” gumam Ranu.
“Kang!” Ternyata orang itu adalah Irman. “Dari tadi aku panggil, tapi enggak nyaut. Aku mau keluar, cari makanan. Akang mau makan apa?”
“Terserah kamu, Man.” Lalu Ranu melihat ke sisi lainnya, Intan masih tidur di atas sofa.
“Tan, bangun! Kamu mau makan apa?” Irman menarik kaki Intan.
Intan bangun tetapi masih belum sadar sepenuhnya. “Wah, enak banget tidur di sini. Ada untungnya juga kamu kecelakaan, Ran.”
“Enggak lucu, Tan!” ucap Ranu yang pandangannya kembali memeluk teman barunya, si Jendela.
“Aku mau keluar. Kamu mau dibeliin apa, Tan?” Irman bertanya sekali lagi.
“Apapun, yang penting harus ada kopi hitam tanpa gula.”
“Siap!” Irman bersikap seperti Prajurit yang mendapatkan misi dari Sang Ratu. Lalu berjalan keluar. Di luar ruangan, ia bersikap seperti tadi lagi, “Siap! Ratu kodok!” Pintu tertutup bersamaan dengan sepatu sebelah kiri yang menghantam pintu.
“Sialan.” Intan mengambil sepatu miliknya yang melayang tadi. “Ran, kalau ada masalah, cerita aja. Jangan dipendam sendirian.”