Malam ini adalah malam yang ke tiga, terhitung sejak Ranu dirawat, dan malam ini Dokter telah mengijinkan Ranu pulang.
“Sebetulnya, lebih baik dirawat di sini,” ucap Dokter yang baru keluar dari ruangan Ranu.
“Tapi, tidak apa-apa, kan, kalau dilanjutkan di rumah?” tanya Irman.
“Iya, tidak masalah. Asalkan jangan banyak bergerak dulu, sebab tulang yang retak itu termasuk tulang besar, yang menopang beban tubuhnya ketika berdiri, Dia beruntung karena keretakannya sangat kecil jadi tidak butuh waktu berbulan-bulan untuk benar-benar pulih.” Dokter menambahkan, “Kalau dislokasi pada bahu dan pergelangan tangannya kini sudah membaik, meski begitu, Dia jangan melakukan aktivitas yang beresiko terlebih dahulu, seperti mengangkat benda yang berat atau menggendong tas berlama-lama.”
“Wah, berarti Kang Ranu beruntung juga, ya.”
“Besok pagi saja pulangnya, dan jangan lupa minggu depan datang lagi ke sini untuk pemeriksaan lanjutan, ya?”
“Baik, Dok. Terima kasih.”
*****
Putri terbangun karena ingin buang air kecil, mungkin karena suhu yang dingin, khas pedesaan dataran tinggi. Ia melewati beberapa ruangan untuk ke kamar mandi. Setelah selesai, ia menyadari bahwa tidak ada orang di rumah, ia juga baru sadar jika Adinda sudah tidak ada di sampingnya ketika ia terbangun. Ia duduk sejenak, mencoba memulihkan kesadarannya. Lalu Putri teringat akan sesuatu.
“Sabtu pagi!” Putri berlari ke luar, ke tepi danau. “KAK! AKI!” Ia melambaikan tangannya yang putih itu ke sebuah sampan di tengah danau. Ia baru ingat kalau pagi ini adalah jadwal Aki memancing. Padahal tadi malam sudah diingatkan oleh Adinda. Harusnya Putri yang menemani Aki memancing, bukannya Adinda.
Dari kejauhan, siluet sampan berpenumpang dua manusia itu mulai membesar, bergerak ke arah Putri yang berdiri di ujung sebuah dermaga kecil. Putri bertelanjang kaki dan masih menggunakan gaun tidur berwarna putih, bak Cinderella yang kabur dari pesta, tetapi kali ini sepatunya tidak hilang sebelah, melainkan sepasang.
“Maaf, Kak. Harusnya aku.” Putri menyambut tangan Adinda. “Pasti Kakak takut banget di tengah danau,” goda Putri.
“Betul! Dari tadi tangannya tidak pernah lepas dari sampan. Sampai, Aki mau berdiri saja tidak boleh,” sahut Aki.
“Ih, Bapak! Kan, tahu kalau aku takut tercebur,” geram Adinda.
“Makanya, Bapak sering ajak kamu ke tengah danau, supaya kamu enggak takut lagi. Ketakutan itu harus dilawan, yakan, Put?”
“I ... ya.” Putri menjawab dengan ragu.