Entah sudah berapa gelas susu yang Ranu minum, barangkali sudah belasan. Adiknya sering sekali membuatkan susu untuknya, sejak kedatangannya tiga hari yang lalu. Ia hanya ingat bahwa hari ini Ia sudah menghabiskan empat gelas susu. Dan malam ini, dari dapur, Putri berjalan dengan gelas yang kelima.
“Ah, Put. Kakak bosen minum susu terus. Kalau kebanyakan, nanti Kakak gumoh, gimana?” ucap Ranu yang sedang menikmati cantiknya malam di beranda rumah, di antara pot-pot bunga.
“Ini yang terakhir, janji. Biar Kakak cepet sembuh. Tuh, Kakak aja masih di kursi roda.”
“Kakak udah sehat, kok.” Ranu mencoba berdiri, tetapi tidak mampu berlama-lama.
“Tuh, kan, jangan dipaksa, Kak.” Putri menaruh segelas susu itu ke atas meja. “Memang masih terasa sakit, Kak?”
“Enggak. Cuma sedikit.” Dengan terpaksa, ia meminum susu itu sedikit demi sedikit. “Put, Kakak mau bicara serius. Pak Hendra menawarkan bantuan untuk kita, supaya kamu bisa masuk Universitas Anjusani, dan setau Kakak itu tempat yang berkualitas. Jadi ....”
“Enggak.” Putri menegaskan, “Aku enggak mau lanjut kuliah, aku mau kerja.”
“Lho? Kok tiba-tiba kamu ....” Ranu menaruh gelas susu. “Kan, kita sudah membicarakan ini, Put!” Suara Ranu mulai meninggi.
“Tapi, aku ....”
“Enggak! Pokoknya kamu ....”
“KENAPA?! Kenapa, sih, Kakak memaksa? Yang berhak atas hidupku itu aku bukan Kakak.” Air matanya berlinang, lalu meninggalkan Kakaknya, keluarga satu-satunya yang masih hidup.
Dadanya seperti terhimpit saat mendengar kata-kata itu. “PUT! PUTRI!” Ranu berusaha mengejar, tetapi ia beserta kursinya jatuh karena lupa menarik tuas pengunci roda.
Dari arah kebun durian, Adinda lari ketika melihat kejadian itu lalu membantu Ranu. “Lho?! Kok bisa jatuh, Ran?!” Adinda panik. “Putri mana?”
“PUTRI! KAKAK BELUM SELESAI BICARA SAMA KAMU!” teriak Ranu.