Tidur Ranu terganggu oleh suara-suara dari luar tenda; seperti ada orang yang sedang mengobrol, beberapa teriakan dan cekikikan. Setelah menanggalkan kantung tidurnya, ia menyingkap pintu tenda. Sinar matahari pagi langsung menyerang penglihatannya, setelah menggosok-gosok mata dengan tangannya kini terlihat jelas asal suara-suara tadi. Intan sedang mengobrol dengan seorang pria di dekat tenda, Putri dan Adinda kegirangan ketika sedang menggosok kulit kerbau di pinggir danau, sedangkan Irman lari ketakutan ketika kerbau di depannya menggerakan kepala ke arahnya, seperti ingin menyeruduk.
“Ran? Sudah bangun?” tanya Intan.
“Hah?” Seperti melihat gajah terbang, Ranu tidak percaya dengan basa-basi itu.
“Kenalin, ini Fadil. Dia ini penjaga kerbau-kerbau itu.” Intan memperkenalkan Pria yang baru dikenalnya itu kepada Ranu.
“Semuanya punya kamu?” tanya Ranu.
“Bukan, semua itu titipan dari Warga,” Fadil meluruskan.
“Fadil bukan orang asli sini, dia berasal dari kota kita, Ran. Fadil ini sudah tiga bulan tinggal di desa ini. Sebelumnya, Fadil sudah mengunjungi banyak tempat, yakan, Dil?” ucap Intan.
“Biarkan dia yang bercerita, Tan,” ucap Ranu. “Kamu kenapa, sih, Tan?” Tentu saja Ranu curiga dengan sikap Intan, karena Intan yang ia kenal adalah orang yang tidak peduli dengan apa yang sedang dilakukan oleh orang lain karena terlalu asik dengan dunianya sendiri.
Intan menanyakan jumlah kerbau yang sedang berkubang itu. Ia tidak sungguh-sungguh bertanya, ia tidak ingin Fadil melihat dirinya menepak jidat Ranu, sampai Ranu yang sedang duduk di kursi lipat itu terjungkal ke tanah. “Aduh! Hati-hati dong, Ran,” ucapnya.
Fadil yang terkejut, mengulurkan tangannya untuk membantu Ranu berdiri, “Kenapa, Kang?”
“Biasa, Dil. Baru bangun tidur, jadi masih kurang sadar. Apalagi Ranu sering rendah darahnya, yakan, Ran?” Intan bertanya dengan senyuman.
“Iya,” jawab Ranu dengan tatapan membara. “Sekarang darahku mulai naik, nih,” ucapnya sambil melakukan beberapa gerakan seperti seorang Petinju yang sedang pemanasan sebelum masuk arena.
“Dil, ayo! Katanya mau bawa kami ke tempatmu,” ucap Intan sambil meraih tangan Fadil, lalu menggiring Sang Penggembala itu kembali ke gembalaannya.
Ranu kira ia telah kehilangan Intan yang dulu, tetapi ternyata tidak. Jiwa Sang Ratu Kodok yang keji masih bersarang di dalam tubuh itu.
*****
Sebelum membawa mereka ke tempat tinggalnya, Fadil meminta ijin ke Kepala Desa terlebih dahulu. Sembari berjalan, Fadil menceritakan bahwa rumah yang ia tempati adalah rumah yang sudah lama kosong. Dan kepala desa mengijinkannya untuk tinggal di rumah itu.
Mereka melewati jalanan tanah basah berbatu yang agaknya kian ditapaki kian menanjak pula. Jalan ini membelah barisan pohon-pohon Rasamala yang bagian bawahnya berlumut sehijau rumput yang menyelimuti tanah.
“Masih jauh, Dil?” tanya Intan.
“Itu di depan. Rumah Apel,” jawab Fadil.
Irman dan Ranu menghentikan langkahnya dan saling menatap. Mereka tidak percaya dengan apa yang terpampang di hadapannya. Sebuah rumah tua berbentuk segitiga yang terbuat dari kayu-kayu usang. Rumah itu memiliki hawa mistis yang kuat, seperti rumah hantu di berbagai film horor. Di depannya terdapat kursi kayu dan lentera yang tergantung dekat jendela.
“Wah! Keren banget. Kamu tinggal sendirian?” tanya Intan.
“Keren apanya? Ini, mah, serem Tan.” Irman masih tidak percaya bahwa ia akan tinggal di sini.
“Mirip sarang pemburu,” Ranu menambahkan.
“Betul, Kang. Ini memang tempat tidurnya Para pemburu, dulunya.” Fadil membuka pintu, “Cho!”
“Cho?” tanya Intan.
“Si Choco, kucingku. Aku tinggal sama kucing ini.” Fadil menggendong kucing tersebut.
“Tapi untuk tempat tidur Para pemburu sih ini terlalu bagus,” ucap Adinda.
“Betul, Kak! Ini nyaman banget, sih. Beda banget sama tampilan luarnya,” sahut Putri.
“Semua ini, kamu yang buat, Dil? Pasti bentuk awalnya jauh dari ini,” tanya Ranu.
“Begitulah, Kang.”
“Aku tau desain yang kamu maksud. Tapi dengan segala keterbatasan, ini sudah bagus, kok,” ucap Intan.
“Jangan sok tau, Tan,” ucap Irman. Dia terbiasa dengan reaksi Intan ketika diledek, bahkan sekarang ia siap berlari, tetapi yang ia dapati hanyalah senyuman dari Intan. “Kejar, dong!”