Terdampar
Matahari sudah jatuh di barat ketika mereka sampai di Rumah. Dari dalam tas, Ranu mengeluarkan makanan yang tersisa, ada tiga butir telur, dua bungkus keju, satu bungkus margarin, minyak sisa, satu bungkus roti sobek, dan banyak sekali beras. Mie instan, nugget, baso, dan sosis sudah habis.
“Tidak mungkin kita hanya makan nasi saja sampai empat hari ke depan,” ucap Ranu.
Di tengah kebingungan itu, Fadil mengatakan bahwa itu tidak perlu dikhawatirkan karena selama mereka di sini, ia yang akan mencari sumber makanan untuk mereka, tetapi ia tidak menjamin bahwa mereka akan suka dengan makanan yang biasa ia kosumsi. “Dengan kata lain, kalian akan makan apa yang aku makan, bagaimana?” tanya Fadil.
Sebuah pertanyaan yang sudah jelas jawabannya. Mereka semua setuju, tetapi mendengar kata-kata Fadil tadi membuat mereka agak takut juga. Ranu menanyakan makanan apa yang biasa Fadil kosumsi.
“Tenang, enggak yang aneh-aneh, kok. Seperti ayam hutan, kelinci, atau ikan. Karena di sini agak susah dapet beras, biasanya aku ganti dengan kentang rebus,” jawab Fadil.
“Kelinci?” tanya Putri. “Kasihannya.”
Fadil tidak tau harus menjawab apa, karena memang itu yang biasa ia makan.
“Kenapa susah dapet beras?” tanya Adinda.
“Karena padi susah tumbuh di dataran tinggi seperti di desa ini,” jawab Fadil. “Dan kalau ingin mendapatkan beras, biasanya Warga di sini akan menitipkan ke Mang Amin ketika kirim barang ke kota.”
“Terima kasih sebelumnya, tapi apa itu tidak merepotkan kamu?” tanya Intan.
“Tentu. Tentu itu merepotkan,” Fadil tertawa kemudian. “Tetapi tidak apa-apa, aku hanya harus memasang lebih banyak perangkap saja. Ya, sesekalilah aku berbuat lebih.”
Mereka berterima kasih kepada Fadil dan merasa bersyukur karena terhindar dari hal-hal buruk lainnya.
*****
Entah karena bingung harus melakukan apa atau karena lelah bekerja di ladang, mereka tidur cepat malam ini, kecuali Ranu, Intan, dan Fadil. Mereka bertiga mengobrol sambil melihat nyala api yang diharamkan mati oleh Sang Empunya Rumah.
Baru kali ini Ranu menyaksikan seseorang menyalakan api tanpa korek atau alat-alat sejenisnya, seperti yang dilakukan Fadil saat membuat perapian.
“Ini namanya Ferrocerium Rod.” Sebuah alat untuk menciptakan percikan api dengan cara menggesekkan batang magnesium pada besi. Percikan api yang dihasilkan dapat membakar tisu atau bahan penyala awal lainnya. “Walaupun kena air atau basah, ini masih tetap berfungsi,” ucap Fadil.
Intan meminta Fadil untuk mengajarkannya cara membuat perapian dengan menggunakan alat itu.
“Oke,” ucap Fadil.
Ranu dan Intan memerhatikan baik-baik apa yang dilakukan Fadil. Mula-mula Fadil menaruh banyak serpihan kayu serupa hasil serutan pensil yang diputar dengan hati-hati di atas daun apel. Sebelumnya, Fadil juga sudah menyiapkan ranting-ranting kayu dan dua bilah kayu besar yang diletakan sejajar.
Fadil mulai menggunakan alat itu dengan memposisikan ujung batang maganesium itu di atas daun apel agar percikan api yang dihasilkan dari gesekan bisa langsung menyulut serpihan kayu tersebut, pada awalnya belum terlihat percikan api lalu pada percobaan ketiga alat itu menghasilkan percikan api kemudian Fadil menggesekkan lagi beberapa kali. Fadil lalu meniup daun apel itu. Kemudian asap muncul lalu perlahan-lahan berubah menjadi api, dengan segera Fadil menaruh daun berapi itu di antara dua bilah kayu besar lalu secara bertahap memberi makan api dengan ranting-ranting. Api semakin membesar seiring ranting-ranting kayu dilempar ke dalam kobarnya. Lalu dua bilah kayu besar itu juga ikut terbakar.
“Tara!!” ucap Fadil. “Sampai di sini ada pertanyaan?”
Intan dan Ranu tidak menanyakan apa-apa. Mereka hanya bertepuk tangan.
*****
Setelah sarapan, Ranu dan Intan ikut Fadil memeriksa perangkap di hutan dan sungai, sedangkan Putri, Adinda, dan Irman pergi ke ladang seperti hari kemarin.
Fadil, Intan, dan Ranu pamit kepada yang lain. Perangkap pertama yang akan mereka periksa ini tidak jauh dari Rumah Apel. Fadil menyebutnya Spring Snare.
Fadil yang jalan di depan, tiba-tiba langkahnya terhenti. Dia menunjuk ke beberapa arah dan mengatakan belum ada ayam yang tertangkap. Ranu dan Intan tidak melihat sebuah perangkap, hanya rimbunan semak belukar dan daun-daun kering yang tertampak. Fadil tidak mendekati perangkap yang Ia tunjuk tadi, mereka berjalan ke arah lain dan menuju perangkap lainnya.
“Kenapa kita cuma lihat dari jauh? Kan, kita bisa cek dulu, barangkali ada yang salah sama perangkapnya,” tanya Intan.
“Seperti yang terlihat tadi, belum ada ayam hutan yang terjerat.” Fadil menambahkan, “Takutnya hewan-hewan yang biasa lewat situ malah tidak jadi lewat karena mencium bau manusia.”
“Memangnya ayam hutan punya penciuman yang tajam, Dil?”
“Enggak, sih. Walaupun itu perangkap untuk ayam, tapi hewan apa saja bisa terjerat di perangkap itu kecuali hewan-hewan yang besar.”