TakdirNya Selalu Menang

Janet Pernando
Chapter #12

I I

Irman terbangun dari tidurnya. Sebuah tidur yang sangat nyenyak, mungkin karena hujan tadi malam yang membuat suhu jadi tidak terlalu dingin. Ia membereskan kantung tidur dan sedikit meregangkan tubuhnya. Tidak ada orang di rumah, Irman keluar dan duduk di kursi kayu. Ia memandang ke sekitar dan bertanya tentang kenapa ia bisa berada di tempat ini.

Irman membayangkan kegiatan apa yang biasanya dia lakukan di waktu-waktu sekarang ini, barangkali ia sedang menerima pesanan dari seorang pelanggan yang memesan secangkir kopi robusta tubruk yang harus diseduh dengan air panas bersuhu delapan puluh tujuh derajat dan sepiring roti bakar selai blueberry tanpa pinggiran roti. Seorang pelanggan yang menyebalkan, pikirnya. Bagaimanapun juga, itu lebih baik daripada berada di sini.

Duduk termenung lama-lama seperti ini membuat Irman menilik kembali tentang dirinya. Irman tahu bahwa dirinya tidak suka berada di antara banyak orang yang kurang atau tidak dikenalnya, tetapi ia juga tidak suka kesendirian macam ini. Aneh, ucapnya.

Contoh, ia lebih suka berada di kereta yang penuh dengan banyak orang daripada bertemu dengan teman-teman lamanya di sebuah acara reuni. Padahal keduanya memiliki situasi yang sama yaitu keramaian.

Lama sekali ia memikirkan tentang ini, ia memikirkan betul-betul apa yang menyebabkan perbedaan itu. Pada akhirnya Irman meyimpulkan bahwa di dalam kereta, ia tidak diwajibkan untuk berinteraksi dengan orang-orangnya, terlebih lagi orang-orang itu juga sibuk dengan dirinya sendiri, sedangkan di acara reuni, ia harus berinteraksi dengan teman-teman lamanya. Ia takut salah bicara dan berbuat hal-hal yang memalukan.

Padahal Irman juga ingin bisa seperti yang lainnya, yaitu bisa cepat akrab dengan orang yang baru ditemui. Ia teringat, Suatu kali ia pernah mencoba untuk akrab dengan temannya Intan yang bernama Bianca di acara perayaan kecil untuk ulang tahunnya Si Ratu Kodok. Ia memperkenalkan diri sebagai teman dekatnya Intan, kemudian Bianca menyambut baik. Walaupun terasa tidak alami, tetapi ini merupakan kemampuan terbaik yang bisa Irman lakukan. Sampai pada ketika Bianca meminta Irman memanggilnya “Caca” karena teman-temannya termasuk Intan memanggilnya demikian dan dengan entengnya Irman mengatakan, “Caca marica hey hey?” Mereka berdua tertawa lalu hening kemudian. Sebuah kesalahan, pikirnya. Irman ijin pergi ke dapur. Setelahnya, ia terus menanyakan kenapa ia bercanda seperti itu.

*****

Matahari tepat di atas kepala, tetapi gugusan awan membuat panas matahari tidak menyengat kulit orang-orang yang bekerja di ladang ini. Bibi Nur mengajak Putri dan Adinda untuk makan siang di rumahnya. Sedangkan Ranu dan Intan ikut Fadil makan siang di saung seperti biasanya. Ranu menanyakan kenapa Sir Ajo tidak ada, Fadil menjawab bahwa dia sedang ada urusan. Fadil juga menambahkan kalau nanti malam Sir Ajo dan Pak Amin akan bermalam di rumah.

“Malam ini mereka bukan hanya tidur di sana, kami mau diskusi tentang sesuatu,” ucap Fadil.

“Tentang apa?” tanya Intan.

“Kemarin, sewaktu aku pasang perangkap malam-malam, aku melihat dua orang pemburu,” bisik Fadil.

*****

Apa mereka lupa dengannya, pikir Irman ketika sedang duduk di depan rumah. Irman kelaParan karena memang Dia belum makan apa-apa dari pagi. Dari kejauhan, Ia melihat ada seseorang yang berjalan ke arahnya. Ia kira Ranu atau Fadil, tetapi ternyata bukan. Seseorang itu adalah Sir Ajo. Irman agak sedikit kecewa, tapi untuk apa dia datang ke sini, pikirnya.

“Irman!” sapa Sir Ajo. “Kamu enggak ke ladang?”

“Ketiduran, Mang.”

“Sama dong.” Sir Ajo mengeluarkan makanan dari tas rajutnya, “Nih, kamu pasti belum makan. Ayo kita makan!”

Irman belum sempat menjawab, namun Sir Ajo mengajaknya masuk.

Lihat selengkapnya