Menjelang siang, Yancy dan teman-temannya datang membawa kabar bahwa Ayahnya Yancy ingin bertemu dengan mereka. Yancy mengatakan kalau mulai hari ini mereka bisa tinggal di desa, di rumahnya. Itu semua karena Fadil yang menelpon langsung ke Ayah Yancy untuk menanyakan tentang kedatangan Ranu dan kawan-kawannya.
“Kok dia bisa nelpon?” tanya Intan. “Kukira di Dukuh Rasamala tidak ada sinyal.”
“Katanya, dia sedang ada di kota. Tempat kelahirannya,” ucap Yancy.
“Benarkah?” Berarti Fadil sedang berada di kotanya, pikir Intan. “Kamu punya nomor telponnya?”
Yancy menggelengkan kepala, “Dia menelpon lewat telepon umum.”
“Saya penasaran kenapa namanya harum sekali di desa kalian. Hebat sekali,” ucap Ranu.
“Iya, dia memang hebat.” Yancy tersenyum lebar.
Sebuah panggilan masuk menggetarkan handphone di dalam tenda.
Adinda langsung menjawabnya. “Apa? Kamu serius?”
Itu membuat Ranu mempunyai firasat buruk tentang yang akan terjadi. Apalagi terlihat dari bahasa tubuh Adinda yang menunjukan kegelisahan.
“Ran,” ucap Adinda dengan nada yang bergetar. “Ibunya Sinta meninggal.”
Ranu yang tadinya berdiri langsung terduduk lemas ketika mendengar itu. Seandainya detak jantung dapat terdengar dengan telinga, pastilah suara detak jantung Ranu serupa dentuman besar yang terdengar beberapa kilometer jauhnya. Ia tidak bisa menyembunyikan kesedihan di raut wajahnya.
“Ran,” ucap Intan.
Ranu tidak bergeming.
“Sinta pasti sedang bersedih. Seharusnya kamu ada di sana.” Adinda menggenggam erat tangan Ranu.
Ranu hanya mengangguk. “Tapi kalian?”
“Tenang. Kamu juga, kan, tadi sudah dengar kalau kita sudah diterima di sini.”
“Betul. Kami akan menjaga mereka,” sahut Yancy.
Yancy mengatakan kalau nanti sore ada kapal yang berangkat dari pelabuhan menuju ke kota asal Ranu. Andra bersedia mengatarkan Ranu ke pelabuhan itu.
“Ran, kamu yakin? Lagipula ....” Intan menjambak rambut Ranu.