Yancy mengajak Irman dan yang lainnya bersepeda untuk melihat matahari terbit di salah satu pantai yang terletak agak tersembunyi. Fadil dan dirinya sering pergi ke sana, ucapnya. Yancy juga menambahkan kalau di sini ada satu pantai lainnya yang juga sama istimewa, yaitu pantai dengan pemandangan senja yang letaknya tidak telalu jauh dari desa.
Maka berangkatlah mereka ke pantai itu ketika langit masih membiru. Irman menawarkan diri untuk membonceng Yancy, Adinda dan Putri berboncengan, sedangkan Intan mengendarai sepeda seorang diri.
Jalan yang mereka lalu sebenarnya tidak begitu sulit karena tidak banyak tanjakan, hanya saja jalan yang mereka lalui berupa jalanan tanah berbatu. Ditambah lagi mereka harus mengejar waktu supaya bisa sampai di pantai itu sebelum matahari terbit. Dari iring-irangan sepeda itu, Irman dan Yancy yang paling lambat. Intan meminta untuk berhenti sejenak di antara ilalang, lalu memaksa Irman untuk duduk di boncengan sepedanya dan membiarkan Yancy mengayuh sepeda seorang diri.
“Tapi, Tan.” Irman mencoba menolak.
“Daripada kamu dibonceng sama Yancy.” Intan tetap memaksa dan mulai mengayuh sepedanya.
“Bukan itu, tapi ....”
“Bawel! Sekarang baru nyesel, kan? Selalu menolak ajakanku untuk olahraga.”
“Iya, kakiku sampai gemeteran. Mungkin karena aku belum sarapan.”
“Alasan! Itu karena kamu lemah.” Intan tertawa puas ketika mengejek penumpangnya itu.
Keputusan Intan terbilang tepat karena matahari baru akan muncul dari dalam laut ketika mereka datang. Mereka bergembira sekaligus takjub melihat itu. Matahari yang terbit itu seperti bola api yang nyala apinya menjalar pada langit di sekitarnya. Cahayanya menggaris pada batas pandangan manusia terhadap langit dan laut. Hangat yang matahari pesankan kepada mereka melalui angin dan ombak menyebar dengan perlahan, mulai dari ujung rambut lalu turun sampai kaki.
Yancy sudah menyiapkan semuanya. Selembar tikar digelar di atas pasir pantai yang putih lagi lembut. Kemudian dari dalam keranjang, dikeluarkannya beberapa makanan dan minuman. Sebuah cara menyambut matahari pagi yang begitu indah.
*****
Ranu terbangun dari tidurnya yang kurang nyeyak karena dinginnya lantai membuatnya tersadar beberapa kali. Mita pamit untuk pulang dan untuk sementara baju yang masih melekat di tubuhnya akan dibawanya pulang juga. Mita berjanji akan mengembalikan secepatnya. Tentu Ranu tidak keberatan.
Setelah Mita pergi, Ranu mulai membersihkan kedai. Dimulai dari menyapu serta mengepel lantai, lalu mengelap meja dan kaca jendela. Dan di tengah-tengah kegiatan itu ada beberapa orang yang masuk dan ingin memesan, tetapi Ranu menolak dan menjelaskan kalau kedai ini belum resmi beroperasi kembali. Ranu juga membersihkan bagian luar kedai. Pekerjaan yang seharusnya dikerjakan oleh beberapa orang itu dia selesaikan seorang diri.
Ranu memastikan kembali semuanya agar tidak ada tempat yang terlewat dari sapu atau lap di tangannya. Setelah yakin tidak ada yang terlewat, Ranu lalu mengunci kedai dan bergegas pulang ke rumah. Ia ingin segera membersihkan diri dan mengabari Adinda bahwa dia sudah sampai di rumah.
Kata Adinda, makam Ibunya Sinta berada di satu pemakaman dengan orang tuanya. Ranu lantas pergi ke sana. Sesampainya di sana, ia mengunjungi makam orang tuanya terlebih dahulu. Karena Adinda tidak menyebutkan secara persis letak makam Ibunya Sinta, ia lantas menanyakan kepada Penjaga makam. Penjaga itu menujuk ke salah satu tempat yang agak jauh dari tempat mereka berdiri. Katanya di sanalah tempat makam-makam yang baru di pemakaman tersebut.