TakdirNya Selalu Menang

Janet Pernando
Chapter #19

Sang Pria

Intan mengajak Adinda ke pantai untuk melihat proses matahari tenggelam, lagi. Tampaknya Intan belum merasa bosan dengan senja. Sebelum pergi, mereka pamit terlebih dahulu kepada Yancy yang sedang mengajar anak-anak di Pos Asa bersama Putri dan Irman.

Sesampainya di sana, Intan langsung membasahi kakinya dengan berjalan-jalan di tepi pantai, sedangkan Adinda hanya duduk di atas sebuah batu dan menyaksikan pertunjukan ombak yang menari-nari di atas tubuh pantai.

Tampaknya mereka terlalu cepat datang ke sini, karena matahari masih mengambang agak jauh dari garis laut. Setelah dirasa cukup berkenalan dengan air laut, perhatian Intan tertuju pada Adinda yang dari hari kemarin selalu duduk menjauh dari laut. Intan penasaran kenapa dari hari pertama mereka datang, ia tidak pernah melihat Adinda menceburkan diri ke laut atau sekadar membasahi kakinya seperti yang dilakukannya tadi.

Intan duduk di samping Adinda, “Kamu takut kulitmu gosong atau apa?”

“Maksudnya?”

“Kamu tau maksudku.”

“Main air? Aku sudah dewasa, Tan.”

“Bukan itu. Tapi ....”

“Aku takut laut. Juga Danau, Sungai yang dalam, dan semacamnya,” sahut Adinda.

“Lho? Aku yang punya pengalaman buruk tentang laut dan pantai, kenapa malah kamu yang takut?”

“Hebat kamu, ya? Bisa bercanda tentang itu. Padahal waktu itu kamu nangis karena itu.”

“Kan, sudah aku jelaskan beberapa kali. Waktu itu aku terbawa suasana aja.” Intan meminta agar Adinda tidak membahas tentang itu lagi. “Tapi, kenapa kamu takut?”

“Soalnya waktu SMA, aku pernah hampir tenggelam.”

“Terus?”

“Iya, untungnya ada Ranu. Dia menyelamatkan aku.” Sebuah senyum tergaris di bibirnya. “Tapi bukannya aku pernah cerita, ya, sama kamu?”

“Masa?” Intan mencoba mengingat-ingat kembali.

Adinda menyadari sesuatu pada apa yang telah diucapkannya tadi. Ia bertambah panik ketika melihat ekspresi wajah Intan yang tersenyum lebar ke arahnya.

“Oh, jadi Pria itu adalah Ranu,” ucap Intan.

Adinda terlihat salah tingkah dan memutuskan untuk pulang dengan alasan matahari masih lama tenggelamnya. Tanpa menunggu Intan, ia langsung pergi begitu saja.

Melihat itu, Intan semakin yakin dengan apa yang dikatanya tadi. Intan lantas mengejar Adinda, “Din, tunggu! Aku benar, kan? Din!”

*****

Ranu menjatuhkan diri ke atas sofa. Ia teringat Adiknya yang sering tertidur di sini jika sedang menunggunya pulang. Apakah Putri baik-baik saja di sana? Apakah dia bahagia? Apakah dia benar-benar tidak ingin berkuliah? Setidaknya ada satu impiannya yang terwujud, pikirnya. “Satu saja.”

Ranu beranjak ke dapur. Ia mencari-cari sesuatu pada rak dinding. Sebotol bir diletakannya di atas meja. Ranu duduk dan hanya memandangi botol berwarna hitam kecokelatan itu. Wajahnya terpantul di sana. Lama sekali, ia hanya melihat botol itu tanpa membukanya, menuangkannya, lalu meminumnya.

Botol itu tetap ada di sana, sedangkan Ranu pergi ke luar rumah. Di atas motor, ia memikirkan banyak hal. Ranu bingung kenapa ia tidak menangis padahal ia sedang merasa sedih, padahal ia benar-benar yakin kalau saat ini ia sedang bersedih. Ranu juga heran kenapa dia tidak tertarik pada sebotol bir di hadapannya tadi, apakah dia kapok karena kejadian waktu itu? Tapi ia rasa bukan karena itu. Bahkan dia tidak tahu kenapa dia ada di atas motor ini dan tidak tahu ke arah mana yang akan ia tuju.

Ranu terus mengendarai motornya di bawah langit malam yang tidak terdapat awan satupun. Ia membelah gedung-gedung tinggi yang menjamur di pusat kota. Ia melintasi jalan yang mengarah ke Taman kota. Malam-malam ke Taman Kota? Sebuah ide yang bagus, pikirnya. Tapi Ia ragu dan terus melaju dan melewati tempat itu.

Jalanan yang sedang ia lalui ini searah dengan Kedainya. “Apa ke kedai saja, ya?” Tapi ia tidak membawa kunci kedai, ucapnya. Hingga pada akhirnya, ia kembali ke rumah. Ranu membuka pagar lalu mendorong motornya masuk ke dalam garasi. Tidak lupa, ia mengunci kembali pagar dan garasi. Ranu masuk ke dalam rumah, ke dapur. Botol bir itu masih di sana. Ranu mengambilnya dan meletakkan kembali ke tempat asalnya.

*****

Setelah anak-anak pulang, di Pos Asa itu tersisa Adinda, Intan, Irman, dan Yancy. Bukan anak-anak namanya kalau tidak membuat tempat bermainnya berantakan; Buku-buku yang sudah keluar dari raknya serta krayon yang tersebar di berbagai sudut.

Mereka harus bergegas membereskan Pos Asa, karena tidak lama lagi listrik di desa tersebut akan padam. Walaupun cahaya bulan malam ini sepertinya cukup menerangi jalan pulang, tetap saja mereka harus waspada. Takut-takut ada batu atau lubang yang tidak mereka sadari.

“Man, pulang duluan, aja. Temani Putri,” ucap Intan. “Sisanya biar aku sama Adinda aja yang beresin ini.”

“Justru kalian berdua aja yang pulang duluan. Aku mau bantu Yancy membereskan tempat ini. Oke?” kata Irman.

“Oke.” Intan langsung mengiyakan. “Ayo, Din. Biarkan pria yang sedang cari perhatian ini melaksanakan tugasnya.”

Irman sudah menduga Intan akan melakukan itu, membuat dirinya jadi tidak keren.

“Intan memang seperti itu. Suka melantur.” Irman ingin menyelamatkan dirinya dari dugaan buruk Yancy.

Yancy hanya tersenyum. “Kalian akrab sekali, ya?”

Lihat selengkapnya