Ranu sampai di seberang kedai, dia tidak langsung turun dari mobilnya. Ranu termenung memikirkan tentang Adinda yang tiba-tiba menghilang. Sudah tiga hari nomor Adinda tidak dapat dihubungi. Meski Ranu sudah beberapa kali pergi ke rumah paman Adinda, termasuk malam ini, beliau masih enggan memberi tahu kemana perginya Adinda. Besok ia harus ke rumah Aki, mungkin Adinda berada di sana, pikirnya.
Intan yang mengetahui Ranu datang langsung bertanya tentang Adinda. Menyaksikan Ranu yang langsung duduk dengan wajah kusut, ia sudah tahu jawabannya.
“Masih enggak mau kasih tau, ya?” tanya Intan.
Ranu mengangguk. “Kayaknya aku harus cari tahu sendiri.”
“Caranya?”
“Besok aku mau ke rumah Aki. Meski paman Adinda bilang kalau Adinda juga tidak ada di sana, tapi aku akan tetap ke sana.”
“Jangan besok, hari minggu aja. Sekalian belanja bahan makanan dan minuman kedai. Masa layak kosumsinya hampir berakhir.”
“Tapi ...,”
“Ssst! Kita masih harus menyelesaikan masalah kedai.”
Dengan helm yang masih terpasang di kepala, Irman masuk dengan langkah gontai. Dia baru tiba setelah mengatarkan pesanan ke beberapa alamat.
“Capek, ya?” tanya Intan. “Mau aku ambilkan air dingin?”
“Boleh,” jawab Irman yang langsung menyandarkan tubuhnya di kursi.
“Bagaimana tanggapan para pelanggan?” tanya Ranu.
“Mereka senang, Kang. Malah ada yang menyarankan supaya kita buka jasa pengadaan pesta.”
“Saran yang menarik. Aku rasa kita punya peluang di situ.”
“Syukurlah,” sahut Intan yang datang dengan dua gelas yang menggigil.
“Masih perlukah kita berdiskusi?” tanya Ranu.
“Perlulah.”
Dua orang wanita yang baru saja membayar pesanannya itu menjadi pengunjung terakhir di malam ini. Seperti biasa, Intan ke luar kedai dan berteriak kalau kedai ini sudah tutup. Anehnya, Ranu dan Irman yang sebelumnya merasa sangat jengkel dengan kebiasaan Intan tersebut justru berbahagia ketika Intan melakukan itu, lagi. Intan sampai heran ketika mendapati kedua pria di balik kaca itu melempar semyum ke arahnya.
“Kita mulai kembali!” ucap Ranu.
“Yuk!” sahut Intan seraya menutup pintu.
“Mungkin ini agak melenceng dari pembicaraan kita waktu itu.” Ranu takut mereka tidak setuju, tapi mau tidak mau ia harus mengatakannya. “Aku tidak suka dengan ide mengubah nama kedai atau semacamnya. Aku lebih suka kalau kita menambahkan sesuatu yang baru. Menambah menu, misalnya. Atau ....”
“Pikiran kita sama.” Intan menatap Irman, “Kamu gimana?”
“Sa ... ma, sama. Aku juga berpikir seperti itu.”
“Boong!” Intan menepak jidat Irman. “Pasti lagi mikiran Yancy, kan?”
“Tapi aku juga mikirin tentang kedai, kok.”
“Tuh, kan.” Tangan Intan melingkar di batang leher Irman. “Biar kubantu mengeluarkan Yancy dari kepalamu.”
“Ah! Tidak! Tolong! Siapapun tolong!” ejek Irman. “Udah, deh, Tan. Fokus ke masalah Kedai.”
Setelah mendengar kata-kata itu, tiba-tiba Intan jadi tidak tertarik lagi dengan leher Irman. Memang benar kata Irman, pikir Intan.
“Begini, saja. Aku punya ide.” Ranu membenarkan posisi duduknya, “Bagaimana kalau kita belajar membuat makanan atau minuman baru. Aku terpikirkan dengan surabi yang waktu itu.”