Hari ini, Ranu berencana akan pergi ke Pantai Ingan Cintaka untuk memenuhi undangan pernikahan Sinta. Tadi malam, ia sempat berpikir untuk tidak datang ke sana, tetapi ia teringat kata-katanya sendiri waktu itu, bahwa ia akan menjadi teman baik Sinta. Orang macam yang tidak datang ke pesta pernikahan teman baiknya, pikirnya.
Ranu meminta Intan untuk menemaninya. Meski awalnya Intan menolak dengan alasan ia akan mengurus kedai, tetapi pada akhirnya alasan itu terpatahkan saat Ranu mengatakan kalau di kedai sudah ada Irman, Abigail, dan Kinan. Jadi Intan terpaksa ikut karena tidak bisa memberi alasan lain.
Di dalam perjalanan yang sepertinya akan panjang tersebut, Intan mengeluh soal gaun yang dipakai dan riasan di wajahnya.
“Kamu mau bilang kalau Putri enggak bisa make up?” ucap Ranu.
“Bukan, itu.” Intan menatap wajahnya yang terpantul di handphonenya, “Aku enggak biasa dandan, Ran!”
“Masa ke pesta pernikahan orang, Kamu enggak dandan?”
Intan berhenti mengeluh, setidaknya untuk saat ini. “Harusnya Adinda.”
Mendengar itu, Ranu diam.
“Kenapa sampai sekarang dia tidak kembali, Ran?”
“Aku enggak tau.”
“Iya! Memangnya apa yang kamu tau? Tidak ada.”
“Bawel!” jawab Ranu dengan nada tinggi. “Kamu kira aku enggak peduli sama Adinda? Aku ....”
“Aku kira begitu,” sahut Intan. “Karena Mita, kan?”
“Jangan bawa-bawa Mita,” jawab Ranu dengan tegas. “Kamu lupa? Kenapa kedai kita ramai lagi? Itu karena tulisannya.”
“Karena itu juga kedai kita berantakan waktu itu. Apa yang kamu sebut perbuatan baik dari wanita itu adalah hal yang konyol. Sudah seharunya dia minta maaf karena tulisan pertamanya itu.”
“Justru kita yang harusnya berterima kasih sama Mita, terutama kamu, Tan. Kalau bukan karena tulisan itu, kamu tidak akan bertemu dengan Fadil, iya, kan?”
Kini giliran Intan yang diam.
“Dari sikap dan kata-katamu, kamu terlihat tidak suka dengan Mita. Apa yang salah dari dia?”
Bukannya menjawab, Intan justru pindah ke bangku belakang. Dia merebahkan tubuhnya dan memasang earphone.
Setelah melakukan perjalanan selama hampir dua jam, mereka sampai di tempat itu. Dari kaca tengah, Ranu melihat Intan yang tertidur pulas di bangku belakang. Ranu tahu kalau mereka datang agak terlambat dari jadwal semestinya, meski begitu dia tidak buru-buru membangunkan Intan dan langsung menuju ke pesta itu. Ada beberapa ketakutan dan keraguan yang begitu berisik di kepalanya. Bahkan untuk mematikan mesin mobil saja, dia tidak berani. Sampai-sampai Intan terbangun dari tidurnya.