“Kinan! Sini!” ucap Irman.
“Iya, Kak.” Kinan duduk di depan Irman, “Ada apa, Kak?”
“Kamu lihat itu,” Irman menunjuk Intan dan Abigail yang berada di luar kedai sedang berteriak-teriak memberitakan kalau kedai ini sudah tutup. “Kamu jangan kayak si Abi, terkena pengaruh buruk dari Intan.”
“Siap, Kak.” Kinan tidak bisa membela Abigail dan Intan.
Intan dan Abigail masuk ke dalam kedai sambil tertawa-tawa. Meski baru mengenal, mereka terlihat begitu akrab.
“Kalian denger, ya,” ucap Abigail kepada Irman dan Kinan. “Ayo, Kak.”
“Berakit-rakit dahulu, berenang-renang ke tepian,” ucap Intan.
“Cakep.”
“Berhentilah jika kedai ini yang kalian tuju, bertamulah di hari kemudian”
Irman tidak mau kalah, dia bangkit dari duduknya dan meletakan satu kakinya di atas kursi, “Berakit-rakit dahulu, berenang-renang ke tepian.”
“Cakep!” sahut Kinan.
“Berteriak-teriak tidak tau malu, beri tepuk tangan kepada Intan.” Mereka semua pun bertepuk tangan.
“BERAKIT-RAKIT DAHULU, BERENANG-RENANG KE TEPIAN!” teriak Ranu dari arah dapur. “BERDIRI SENDIRI TANPA ADA YANG BANTU, BERTEMAN SEPI DAN CUCIAN!”
“Tuh, kan! Si Ranu ngamuk,” ucap Intan.
Lalu Irman berbisik, “Beres-beres dahulu, bercakap-cakap kemudian.”
“Ran, Si Irman masih main pantun, nih!”
“Boong, Kang!”
Beberapa menit kemudian, Ranu keluar dari dapur sambil mengeringkan tangannya dengan celemek, “Ayo! Kita rapat seperti biasa.”
Bagai anak ayam pada induknya, mereka membuntuti Ranu ke salah satu meja.
“Tan,” ucap Ranu.
Intan mengerti apa yang diinginkan Ranu, “Kalau dibandingkan dengan minggu lalu, penjualan kita agak menurun. Mungkin hype dari menu sudah mencapai batasnya.”
“Beda dengan penjualan di layanan pesan-antar, justru jumlahnya meningkat. Bisa-bisa nanti kamu juga bertugas mengantarkan pesanan juga, Tan,” ucap Ranu.
“Iya, enggak masalah.”
“Kok Intan? Kan, masih ada aku yang bisa bantu Kang Ranu.” Kesombongan sangat kental di wajah Irman.
“Itu karena menu yang laku itu surabi kacang merah sama wedang uwuh buatan kamu.” Sebetulnya Intan benci mengatakannya, tapi ia tidak bisa berbohong. “Puas?!”
Dengan suara berat Irman menjawab, “Tolong! Kalian lebih giat lagi belajar membuat menu baru. Jujur, aku keteteran membuat menu kesukaan para pelanggan. Aku takut terjadi apa-apa pada kedua tanganku ini. Apa aku perlu mengasuransikan keduanya?”
Intan menjambak rambut Irman, “Jangan sombong! Lagipula kita semua cuma enggak bisa dua menu doang. Itu juga karena kamu membuatnya terlalu aneh.”
“Kan, sudah aku ajarkan cara membuatnya, tapi kalian masih belum bisa juga,” ucap Irman yang masih dalam keadaan dijambak.
“Aku akan bekerja lebih keras lagi!” ucap Abigail.
“Aku juga. Maafkan kita, Kak!” sahut Kinan.
“Ssst! Jangan begitu. Aku lebih suka kalau kalian kerjanya santai, tidak usah terlalu keras, ya?” ucap Ranu.
“Iya, Kak!” jawab Kinan dan Abigail.
“Kurasa sudah cukup. Ayo pulang!”
“Tunggu! Aku mau membahas sesuatu sama kalian,” ucap Intan. “Aku punya ide, bagaimana kalau kita semua liburan bareng satu atau dua hari di setiap bulannya. Iya, sebagai refreshing aja. Kalian setuju, kan?”
“Ide yang bagus,” jawab Abigail.
“Iya, aku sih setuju-setuju aja,” sahut Kinan.
Ranu mengangguk-angguk, “Tapi ....”
“Oke! Sudah diputuskan! Mari pulang!” ucap Intan sambil merangkul Ranu dan Irman.