Langkah-langkah kaki Rachel tidak bersemangat menapaki keramik lorong rumah sakit. Perjalanan dari ruangan dokter menuju ke ruang ICU dirasakannya sangat panjang. Bahu Rachel meluruh bersamaan dengan kemungkinan satu-satunya keluarga yang masih tersisa memiliki harapan hidup yang tipis. Terngiang kembali di telinganya ucapan dokter yang menyatakan bahwa kanker kembali menggerogoti paru-paru mamanya. Bahkan stadium keganasan kankernya meningkat setelah kembali muncul dan tidak rutin menjalani kemoterapi.
Apakah lain cerita kalau dia lahir di saat mamanya masih kuat? Apakah akan berbeda jika dirinya memiliki sedikit saja keanggunan dan kecantikan yang dimiliki oleh kakaknya, sehingga mama akan dengan sukarela bertahan hidup demi dirinya? Apakah ada artinya jika selama masa kecil dan masa dewasanya dihabiskan di rumah saja dengan melihat tatapan menyakitkan dari mamanya setiap kali mamanya melihat ke dirinya? Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan pengandaian yang ada dalam pikiran dan hati Rachel. Banyak hal yang ingin dia ubah demi tidak merasa sebatang kara seperti sekarang.
Dihelanya napas berkali-kali untuk meringankan pikiran yang masih bercokol di kepalanya. Sesampainya di ICU, Rachel melihat mamanya dari balik jendela kaca. Selang-selang melilit tubuh lemah mamanya. Respirator terpasang melalui mulut, pengukur detak jantung terpasang di dadanya, selang infus terpasang di tangan kiri dan kanannya. Mamanya masih memejamkan mata, belum menunjukkan tanda-tanda akan segera bangun dari ketidaksadarannya. Dipandanginya dengan kasih sayang satu-satunya keluarga yang masih tersisa.
Hari ketiga di rumah sakit, mamanya belum juga menunjukkan tanda-tanda akan membuka matanya. Rachel masih setia menunggu siang-malam di rumah sakit dan hanya pulang untuk mandi dan bergegas kembali lagi ke rumah sakit. Saat kunjungan dokter hari ketiga, Rachel bergegas menemui dokter Steve untuk menanyakan kondisi mamanya.
"Dokter, bagaimana kondisi mama saya hari ini?" tanya Rachel dengan napas terengah-engah karena mengejar rombongan dokter yang mengevaluasi pasien.
"Mari kita ke kantor saya. Akan saya jelaskan di sana," ajak dokter Steve dan langsung memimpin jalan menuju ke ruangannya. "Silakan duduk Nona Rachel," katanya kembali.
"Bagaimana dokter? Apakah hari ini mama ada perkembangan?" tanya Rachel harap-harap cemas.
"Begini Nona Rachel, di hari ketiga ini, mama Nona sepertinya masih sama kondisinya saat masuk ke rumah sakit. Beliau masih koma dan belum sadarkan diri," ujar dokter Steve memberitahukan hasil pemeriksaan kondisi Leah Lear.
"Apakah ada kemungkinan mama saya sadar dan bisa sembuh dari penyakitnya dok?" tanya Rachel lebih lanjut.
"Untuk pasien penyakit kronis dan sudah mengalami kondisi koma, kami hanya bisa memantau kondisinya melalui alat menunjang hidup yang terpasang di tubuhnya. Untuk apakah Nyonya Leah sadar dan membuka mata, itu lebih kepada keinginan hidup si pasien sendiri," terang dokter Steve panjang lebar. Dokter Steve melanjutkan penjelasannya kembali, "Namun, apabila nantinya beliau sadar, yang bisa kami lakukan hanyalah memberi obat anti nyeri dan pereda sakit untuk meringankan penyakitnya. Karena kankernya sudah menyebar dan merambat ke organ lainnya, jadi agak sulit bagi kami untuk membantu menyembuhkan Nyonya Leah apabila dari beliaunya sendiri tidak ada keinginan untuk sembuh."
Meskipun Rachel sudah mengetahui apa yang disampaikan oleh dokter tersebut sama dengan apa yang sudah diperkirakannya dari awal, tetapi mendengar langsung pernyataan dari dokter rasanya sangat berat dan menyesakkan dada. Setelah mengucapkan terima kasih, Rachel keluar dari ruang dokter.