TAKSA

aksarabercerita
Chapter #11

11. Awal Perselisihan

Minggu pagi yang sangat cerah, Rara mengawali paginya dengan berolahraga jogging bersama Zidan. Setelah hampir mereka mengelilingi satu komplek, dengan napas yang terengah-engah pun Rara meminta untuk mengakhiri jogging hari ini. “Kak udahan yuk Rara capek,”

“Ahh lemah kamu masa baru segini doang udah cape,”

“Biarin Rara lemah daripada nanti Rara pingsan di jalan Kakak juga yang repot,”

“Pinter ya jawabnya, ya udah kita pulang tapi sambil lari yang kalah harus beliin apa yang pemenang pengenin,”

“Gak mau gak mau, itu sama aja cari kesempatan dalam kesempitan pasti kazid yang menang, Rara lari pake energi full juga belum tentu menang apalagi kalo lagi kecapean kaya gini,”

“Payah kamu, terus gimana mau jalan aja?”

“Iyalah jalan biasa aja,”

“Makanya minta ajarin El gimana caranya lari cepet diakan larinya cepet banget keren lagi,” Goda Zidan yang langsung bergegas lari menjauh dari Rara sebelum kena ocehan Rara.

“Apaan kali Kak, El teruss,”

“Hah gak kebalik ya? apaan kali Ra, El teruss.”

“Ihh nyebelin! tungguin Rara Kak nanti kalo Rara pingsan di sini terus diangkut mobil penjahat gimana.” Ujar Rara yang berusaha menyusul Zidan yang semakin menjauh.

 

***

“Dek, Rara sini sebentar Papa mau ngobrol,” kata Papa yang melihat kedatangan Rara selepas jogging.

“Ada apa Pa?” tanya Rara sembari mendekat lalu duduk di sebelah Papa.

“Gimana?”

“Gimana? gimana apanya Pa?” tanya Rara bingung dengan maksud ucapan Papanya.

“Lah belum dipertimbangin? atau malah dilupain?”

“Dipertimbangin? dilupain? aduh Pa Rara sama sekali gak ngerti langsung to the point aja Pa,”

“Soal jurusan kuliah dek,”

“Oh...”

“Udah? udah dipertimbangin?”

“Belum sih Pa, Rara belum pertimbangin lagi,”

“Kok belum sih dek, mau kapan dipertimbanginnya?”

“Rara masih bingung Pa, sekarang juga masih kelas 11,”

“Iya Papa tahu tapi sampe kapan bingungnya? Papa tahu kamu masih kelas 11 tapi inget waktu terus berjalan dek,”

“Sambil waktu berjalan sambil dipertimbangin bisakan Pa?”

“Bisa, tapi sampe kapan kamu mau pertimbanginnya waktu yang kamu punya dari sekarang sampai pendaftaran kuliah aja cuma terbatas, yang dilihat memang seperti masih sangat jauh tapi nyatanya waktu berjalan dengan begitu cepat dek,”

Rara tertunduk terdiam tak menjawab sepatah kata pun.

“Selagi kamu masih kekeh mau linjur, Papa juga bakalan tetap kekeh nyuruh kamu ngambil perpajakan,” ucap Papa tegas.

“Loh kok gitu Pa,” Rara menatap papanya dengan penuh kebingungan.

“Iya, daripada kamu nanti udah linjur tapi tahu-tahu selesai kuliah malah nganggur sia-siakan, mending langsung perpajakan aja Papa punya banyak koneksi di sana,”

“Berarti kalo Rara gak linjur Rara bolehkan nentuin jurusan pilihan Rara sendiri?”

“Emang kamu mau ngambil jurusan apa? semuanya balik lagi tergantung jurusan apa dulu, Papa pengen yang terbaik buat kamu Meira,”

Air matanya sudah di pelupuk mata tapi ia tahan sekuat tenaga, dengan matanya yang berkaca-kaca juga suaranya yang setengah gemetar. “Kak Zidan kayanya gak sampe segininya Pa waktu nentuin jurusan,” ucap Rara.

“Ya karena Kak Zidan gak linjur, konsisten, dan punya pendirian teguh tentang jurusan pilihannya.” Ujar Papa dengan tegasnya. “Kalo adek gimana? udah linjur masih bingung lagi, adek punya pembelaan atau pendirian? kalo punya sini bilang jelasin sama Papa, sekali lagi Papa tegasin Papa mau yang terbaik buat Meira ini bukan buat siapa-siapa ini nanti juga cuma buat adek, buat Meira.” Sambung Papa.

Rara yang sudah tak kuat menahan tangisan pun memilih mengakhiri pembicaraan kali ini, karena tak mungkin rasanya ia menangis di hadapan Papa.

“Kita obrolin nanti lagi ya Pa, Rara mau bersih-bersih udah punya janji mau pergi ke toko buku sama Keisya.” Ucap Rara lirih tertunduk tak berani memperlihatkan wajahnya lalu pergi menuju kamar meninggalkan Papa.

Lihat selengkapnya