Dia tidak yakin harus mengingat dari mana. Semua terjadi begitu saja. Hatinya jatuh cinta tanpa peringatan.
Di luar rumah satu lantai itu gelap dan dingin. Deretan halaman kecil warga seolah-olah sudah beralih dihuni oleh hantu. Kuyu, semua tanaman ikut berduka oleh kematian seorang pria baik hati dan pekerja keras.
Katanya, manusia cenderung mati sesuai dengan gaya hidupnya. Pria itu, dia roboh karena meremehkan jam makan. Dia bekerja siang-malam dengan ide membahagiakan istri tercinta tertanam di dalam kepala.
Banyak yang berduka, termasuk wanita penghuni rumah satu lantai tersebut.
Sekarang pukul dua pagi, namun wanita itu belum bisa bergeser dari sofa tunggal kesukaannya. Duduk termenung memandangi sudut ruang tamu. Tirai kasa kuning sesekali bergerak oleh tiupan angin.
Dia bangkit setelah hampir tiga jam tanpa melakukan apa pun. Dengan gerakan gontai, dia memadamkan lampu. Sekarang, dia kembali merenung tanpa ditemani cahaya selain dari lampu jalan dan teras rumah warga di sekitar.
“Apa salahku?” Dia menutup wajah. Rambut sebahu dan gaun tidurnya acak-acakan.
Tangis senyap adalah bukti betapa ganas rasa sakit yang sedang menggerogoti hatinya.
“Kalau mau pergi, kenapa enggak bawa aku sekalian?” Dia meremas dada, lalu memukul-mukul paha. “Oh, Kakaak.”
Angin sekali lagi berembus melewati celah jendela kaca yang terbuka sebagian. Hidupnya adalah film horor, dan dia tahu benar. Wanita itu mengangkat wajah, lalu menyaksikan hal yang paling dia inginkan di dunia ini.
Pria yang dia sayangi berdiri dengan santai di tengah-tengah ruangan.
“Aku tahu kamu bakal kangen sama aku, makanya aku balik.” Pria itu tersenyum hangat seperti biasa.
Wajah si wanita kembali remuk oleh tangis. Dia berdiri, lalu memeluk sosok yang dia rindukan. “Kaak.”
“Baru juga enggak ketemu dua hari, kamu udah uring-uringan gini.” Si pria tertawa senang, dan tawa itu menular kepada wanita di dalam pelukannya.
Bersamaan dengan tawa yang mereda, alunan saksofon Kenny G terdengar di dalam kepala. Musik tersebut eksklusif karena hanya mereka yang mampu mendengarnya. Keduanya mulai berdansa pelan. Seandainya saja waktu di dunia bisa selambat gerakan tubuh mereka.
“Aku hampir mati kesepian,” kata di wanita.
“Separah itu?”