Setelah tujuh tahun mengenalnya, ternyata, jatuh cinta bukanlah sesuatu yang sulit. Kamu hanya perlu terbiasa dalam banyak hal. Menerima perlakuannya, menjawab pertanyaan, lalu balik bertanya. Selama ada komunikasi dua arah, perasaan itu akan tumbuh dengan sendirinya.
Mirip lintah, rasa tidak ingin pergi menempel kuat karena kebiasaan. Lebih parah daripada perangko, kalian bahkan mampu hidup sebagai satu jiwa untuk dua raga. Berpisah adalah terbang tanpa sayap, yaitu mustahil.
“Mila? Kamu udah siap?” tanya pria tinggi besar melalui celah pintu kamar yang terbuka sebagian. Dia menyeringai sambil memindai tubuhku. “Dasar aneh. Ke pemakaman kok pake merah cerah gitu.”
Aku hanya perlu tersenyum ketus. “Ck! Aku suka, jadi mau gimana lagi.”
Dia menampakkan deretan gigi agak kuningnya. Tersenyum manis. “Ya udah, itu sih pilihan kamu. Aku bisa apa?”
“Tunggu di luar. Aku tinggal pake kaus kaki.”
Dia terbatuk sambil menggangguk. “Egh! Iya, aku juga harus bersihkan kaca mobil bentar.”
Roda mobil bergulir memasuki jalan raya. Jantungku berdebar karena sudah lama tidak melihat pemandangan lalu-lalang manusia dan kendaraan. Oh, lihat! Pedagang kaki lima semakin pandai mendandani gerobak mereka. Aroma sambal kacang dan acar martabak telur mengundang nafsu makan.
Semua ini membuatku ingin menangis.
“Berapa lama buat sampai ke pemakamannya?” tanyaku sambil terus menempelkan wajah ke kaca jendela.
“Kamu ingat pemakaman umum di samping jalur masuk ke kompleks tempat tinggal keluargamu?”
Wajah ibu melintas. “Iya, yang luas dengan pagar kuning itu, ‘kan?”
“Iya, pemakamannya di sana. Enggak sampai setengah jam lagi kita sampai kok. Kita pasti sempat.”
Aku kembali larut dalam aktivitasku. Kota ini berubah hanya dalam waktu tujuh tahun. Di perempatan yang selalu macet, yang kami lewati tadi, sudah dihiasi sebuah flyover. Jembatan raksasa melengkung di atas salah satu jalur laluan lama. Pantas saja mobil bisa melintas tanpa hambatan menyebalkan.
Soal pertemuanku dengan Renan, aku tidak begitu suka membahasnya.