Aku yang pertama mendorong semua orang untuk menjauh. Setelah itu, aku menangis di malam hari dengan suara tertahan. Tidak ada yang tahu karena akulah yang bungkam. Tetapi, aku ingin mereka memahamiku.
Aku terlalu lama hidup di duniaku sendiri, dan sangat terlambat menyadarinya.
Kabut tipis menyelimuti atap-atap dan halaman rumah warga. Mungkin besok langit bakal cerah tanpa awan. Hawa panas, lalu hal itu membuat penjual es krim tersenyum lebar.
Aku duduk di atas penanda rumah baruku. Ukurannya tidak besar, tapi bahan batu menjadikannya sejuk, terutama saat belum terjemur matahari. Kalau ada yang bertanya apa, maka jawabannya adalah nisan.
Benar. Aku sudah mati.
Selain aku, masih ada puluhan sosok yang melakukan hal serupa. Kalian tahu, duduk melamun di teras atau ayunan sambil memandang menara untuk mempertanyakan keinginan sendiri di sore hari, kami para roh juga melakukannya.
Ada yang sedikit berbeda. Bedanya, kami tahu hal apa yang ingin dilakukan. Menjadi lebih baik, dan menyesal tidak melakukannya ketika masih hidup. Saat ini, harapan dan pengetahuan sudah tidak berarti karena kesempatan sudah kedaluwarsa.
Apa kedengaran klise dan payah? Aku tidak bisa menyalahkan kalian yang masih hidup untuk sikapku saat ini.
Ketika masih hidup, makam adalah tempat mengerikan. Melihatnya dari jauh saja sudah membuatku bergidik. Ah, tidak! Tidak perlu melihat karena membayangkan saja sudah cukup.
Ada wanita bersandar sambil memeluk kain bedong kosong berlumur tanah. Dia bersenandung lirih karena tetap beranggapan bayinya masih di sana. Jarak wanita bermata kosong -secara harfiah- itu sekitar sebelas langkah dari rumahku.
Agak jauh darinya, pria bertopi motif loreng memeluk senapan dengan rokok mencuat di sudut bibir. Percikan api meletup kecil setiap ada angin berembus.