Di dalam kamar yang cuma mendapat sinar dari pantulan cahaya di cermin, aku terbangun karena panggilan adikku. Setelah bolak-balik merebahkan tubuh, aku akhirnya bangkit dengan gerakan super malas. Jendela terbuka sebelah, sementara deretan lampu jalan masih seterang biasanya.
“Maya! Maya!”
Aku menjulurkan leher, lalu melihat gadis pucat tanpa hidung, mulut, dan mata sedang melambaikan satu tangan di bawah jendela. Ah iya, kamarku di lantai dua. Dia adikku, tapi juga bukan. Tetapi, aku sangat yakin kalau dia adalah adikku.
“Naik! Hantu cewek itu bentar lagi bakal datang. Aku takut sendirian.” Aku mendesaknya masuk ke rumah.
“Iya. Bentar lagi aku naik.”
Ketika aku membalikkan tubuh, dia sudah berdiri di samping ranjang. Sekarang dia sedang merapikan selimut dan kelambu kami.
“Hantu enggak bisa ganggu kalau kita pakai kelambu,” katanya.
Gemerisik radio menggema di atas langit-langit, dan kami buru-buru menyembunyikan diri di dalam selimut tebal. Saat ini, suasana berubah senyap. Sekalipun ada bunyi-bunyian, maka itu hanya detak jantung kami berdua. Saking dekatnya, aku rasa jantungku sudah berubah lokasi ke dalam batok kepala.
Desah napas, derit pintu, dan cakaran di dinding.
Desah napas, derit pintu, lalu cakaran di dinding.
Kelambu bergoyang, hingga helai kain kasa abu-abu ini bergerak mirip gelombang kecil sungai. Tangan-tangan bersiku dua membelai setiap sisi kelambu. Di tengah temaram dalam kamar, tubuh hantu pengganggu berpendar putih samar.
“Haaaa..” desahnya tepat di dekat pipiku.