Kalau dipikir-pikir lagi, cara kerja otak itu lebih rapi dari yang kamu kira. Jika dia memberi perintah untuk mengamati keindahan saja, maka hanya hal-hal menyenangkan yang akan indramu tangkap. Tentu saja, rumus ini juga berlaku sebaliknya.
Sepuluh tahun sudah berlalu, dan aku masih ingat akan hari itu.
Di tengah siang bolong, adik bayiku tiba-tiba raib dari dalam ayunannya. Dia baru berusia dua bulan, dan dia adalah tipe bayi yang ramah. Ibu pernah berkelakar soal siapa pun pasti bisa menculiknya dengan mudah karena dia tidak pilih-pilih tangan. Gendongan orang asing bukan masalah baginya.
Ibu ke kamar kecil, sementara aku membantu ayah membersihkan sepeda motor tuanya. Tidak lama, kami berkeliaran seperti kawanan semut terkena percikan air panas, setelah menyadari hal buruk baru saja terjadi.
Fizi menghilang.
Sepuluh tahun, catat ini. Beragam usaha sudah kami lakukan. Melapor ke polisi, membagi dan menempel selebaran, menggalang tenaga untuk pencarian di wilayah terdekat, hingga meminta bantuan orang pintar. Nihil. Kami selalu dihadapkan pada hasil yang sama.
Tidak secara blakblakan, tapi semua kenalan meminta kami untuk menerima segalanya. Tidak ada harapan lagi, kata mereka. Ayah, ibu, dan kerabat juga mengendurkan upaya. Hingga lima tahun yang lalu, ibu dan ayah masih sering tiba-tiba menangis saat membahas soal Fizi. Tetapi sekarang, luka masih basah itu mereka sembunyikan layaknya orang dewasa kebanyakan.
Aku berbeda.
Ketika Fizi lenyap, aku masih berusia sepuluh tahun. Lemah dan hanya bisa ikut-ikutan menangis, lalu bermain lompat tali setelahnya. Namun dengan bertambahnya usia, amarahku ikut tumbuh. Fizi harus kuperjuangkan.
Sejak empat tahun yang lalu, aku mulai mengumpulkan bermacam-macam informasi seputar kasus kehilangan di kota kecil kami. Hanya kampung yang dekat dengan kecamatan, tapi di tempat Fizi lahir ini memiliki banyak kasus manusia yang lenyap tiba-tiba. Teori bermunculan, mulai dari bersifat ilmiah sampai yang bernuansa mitos.
Hantu Teluk menculik manusia-manusia itu.
Karena pencarian yang dilakukan sangat melelahkan, aku sempat hampir menyerah beberapa kali. Namun setiap kali menatap foto wajah bulat telur dan pipi berisinya, semangat itu kembali muncul. Kebencianku membuncah.
Bagaimana perkembangan temuanku?
Aku harus mengurutnya dari hari kepindahan kami ke kota kecil bernama Ara Sungai. Fizi lahir sekitar dua tahun setelah kami menetap di sini. Ayah adalah seorang staf pabrik perusahaan sawit. Kami pindah karena ayah yang mendapat mutasi kerja.
Keanehan tidak ada pada ayah atau keluarga kami, melainkan pada reaksi warga di sekitar rumah. Mereka memperlakukan kami dengan canggung. Jika tidak suka, maka ketidaksukaan itu akan tampak jelas. Lalu jika baik, kebaikan mereka terlihat memaksakan. Bukannya berterima kasih, kamu justru merasa risih.
Kecanggungan itu bertambah semenjak Fizi lahir.
Ara Sungai memiliki sebuah perpustakaan. Kecil, namun memiliki informasi yang kubutuhkan. Ternyata, sejak lebih dari seratus tahun yang lalu, orang hilang bukanlah kasus langka di sini. Lalu, fakta ganjil muncul di rentang waktu tertentu.
Setiap dua puluh tahun sekali, anak kecil laki-laki bernama Fizi selalu menghilang.
Fakta ini tertutupi oleh kasus-kasus acak lainnya. Kalau saja arsip berisi profil korban tidak disimpan dengan baik, pencarianku pasti mustahil menemukan jalan keluar. Aku hampir menggila saat melihat deretan nama yang serupa dengan milik adikku.
Sekarang, aku dalam perjalanan ke hutan di dekat sebuah lapangan sepak bola. Lapisan pertama dihuni oleh satu hektar kebun karet milik kelurahan. Setelah itu, hanya ada pepohonan liar. Cahaya siang tidak begitu terik karena payung dedaunan yang terjalin rapat.
Aku melirik jam tangan, dan waktu sudah di pukul satu siang lebih beberapa menit.
“Kamu mungkin enggak percaya, tapi anak-anak ini jelas sudah diambil Hantu Teluk. Kalau enggak percaya juga, coba aja pergi ke Sungai Ara. Hantu Teluk hidup di sana.” Wanita tua penjaga perpustakaan kota memanas-manasiku.
Area sungai di sana disebut Ara karena ada banyak pohon ara di sekitarnya. Desa ini diberi nama Ara Sungai karena alasan yang sama. Pohon Ara banyak tumbuh di dekat sungai. Sederhana sekali.
Sudah lebih dari satu jam aku menembus hutan sepi ini, tapi belum ada tanda-tanda suara riak air. Wanita tua itu bilang hanya butuh lima belas menit setelah melewati kebun karet. Jejak manusia sudah lama terlewati. Apa jangan-jangan aku sudah dikerjai olehnya?
Lalu ….
Pandanganku berangsur diselimuti mendung. Anemia? Bukan! Aku menengadah, kemudian melihat langit melalui celah dedaunan. Tadinya bersih, sekarang menggelap. Saat ini, malam seolah-olah datang lebih cepat dari seharusnya.