Angin sejuk area pegunungan tidak bisa menghapus keringat dan kecemasannya. Bunyi gagak dan burung pelatuk mewarnai kedalaman hutan. Kalau bicara soal hewan bersayap, kokok ayam juga tidak ketinggalan mengisi barisan pohon karet, sungkai, jengkol, ketapang, mangga, kapuk, dan bambu yang tumbuh jarang-jarang.
Ayam? Mana ada ayam di dalam hutan yang berada di dekat ladang pun tidak ini.
Fransiskus adalah remaja tiga belas tahun berambut ikal. Kulit cerahnya semakin mirip usus ayam, saat hari sudah hampir petang, sementara mereka belum juga sampai ke jalan setapak menuju rumah. Aroma terasi bakar mengalir di udara.
“Kita enggak sesat kah ini, Nek?” ulangnya.
Tidak ada jawaban.
Wanita beruban di depannya masih saja sibuk menangguk ikan. Kalau orang biasanya bergerak melawan arus karena menghindari keruh, maka si nenek malah ke arah sebaliknya. Tas jalinan daun pandan tersimpai di pinggang, dan wadah tersebut kosong. Fransiskus tahu karena jalinan daun kering itu tidak serapat seharusnya. Tembus pandang.
Lima jam yang lalu, atau sekitar pukul dua belas, Frans pulang sekolah. Setelah memastikan adik penderita down syndrome-nya tuntas makan siang, dia mengintip pondok kecil di belakang rumah untuk melihat apakah neneknya ada di sana atau tidak. Pondok berhias sarang laba-laba kehitaman itu adalah tempat keluarganya menggiling butir kentalan karet menjadi lempengan.
Kosong. Si nenek sudah pergi ke ladang, itu yang dia pikirkan.
“Dek, kamu diam di rumah sama Bapak Tua. Dia ada di belakang, lagi betukang teras dapur.” Terdengar suara gergaji milik paman mereka memotong papan di halaman belakang rumah.
Si adik melotot, lalu berlalu begitu saja. Bocah perempuan berusia sembilan tahun itu benci kakaknya pergi. Walaupun tidak tega, Frans tetap harus menyusul nenek yang pasti sedang sibuk memanen sisa padi tahun ini. Skenario terburuk kalau malas menyusul adalah neneknya akan marah, lalu tidak memberinya jatah jajan untuk keesokan hari.
Sekarang sudah lewat pukul lima sore. Selain kokok ayam yang masih sesekali terdengar, bunyi serangga juga mulai mengganggu telinga Frans. Nyamuk berpesta di wajah, leher, lengan, dan betis kurusnya.
“Nek, aku udah lapar. Pulang, yok,” rengeknya. “Bapak Tua juga udah belikan kita ikan. Besar juga. Kasihan Feni kalau kita kelamaan di ladang.” Dia mengusap leher, menepuk lengan untuk membunuh serangga yang hinggap.
Tidak ada jawaban, tapi kali ini si nenek menoleh dengan mata mendelik. Kerutan pada wajah bertambah saat dia berusaha tersenyum. Tidak! Itu seringai. Frans mundur selangkah, lalu hampir terjatuh karena kakinya terperosok ke dalam tanah lembek.
“Memangnya mau sampai jam berapa?” tanya Frans takut-takut. Kebiasaan mudah memukul neneknya terngiang-ngiang.
Nenek masih menyeringai. Sesaat kemudian, dia memutar tubuh, lalu lanjut mengawasi air kecokelatan sebetis yang mereka susuri. Frans mulai kebingungan. Akan tetapi, dia tidak cukup berani untuk memprotes.
Semenit terasa lebih lama dari sehari. Aroma terasi gosong tidak henti-hentinya mengikuti langkah mereka berdua. Frans celingukan, dan dia hanya menemui siluet pepohonan dan semak berlatar pendar warna oranye. Tumbuhan hijau kehitaman di sekitarnya bergerak-gerak bak alien di tengah malam, di bawah temaramnya bulan sabit.
“Nek, apa kita enggak kejauhan dari ladang? Suara Tante Sanah udah enggak kedengaran lagi.”
Tangguk rotan mendarat di depan Frans. Sekali lagi, bocah itu beringsut mundur hingga hampir terjerembab. Bibirnya membiru karena sudah lama merendam kaki di dalam air. Dengan wajah masam hampir menangis, dia memungut benda itu, kemudian mulai mencari ikan di sela-sela batu dan sulur akar.
Beberapa menit menunduk, kemampuan melihatnya semakin buruk. Sementara itu, neneknya duduk di atas undakan tanah sambil memerhatikan lekat-lekat setiap gerakannya. Canggung, sensasi panas-dingin menjalar di sepanjang punggung.
Hari ini nenek aneh betul. Salah apa lagi aku?
Frans berdiri tegak, lalu mengamati lengannya sendiri. Ya ampun, malam semakin dekat karena bahkan dia sudah tidak bisa melihat bulu tangannya sendiri.