Takut

Imelda Yoseph
Chapter #9

Maafkan Aku

Bocah di sana bernama Adan. Itu hanya nama panggilan. Dia memiliki postur cukup tinggi untuk ukuran murid tingkat delapan. Tubuhnya semakin terlihat panjang karena sekarang dia sudah menjadi pocong.

Dia dalam perjalanan ke dalam tanah.

Aku mengenalnya sebagai salah satu anggota kelompok belajar di tempatku bekerja. Teman-teman dan keluarganya mengenal bocah itu sebagai anak bermasalah. Melihatnya ditangisi oleh banyak orang membuatku berpikir kalau mati memang jalan terbaik untuk menarik simpati siapa saja.

Dua pekan lalu, yang entah ke berapa kalinya, ayah Adan menjambak rambut bocah itu gara-gara dia ketahuan mencuri uang ibunya untuk membeli rokok. Aku juga ada di parkiran ketika dia meringis kesakitan setelah didorong ke dinding beton bangunan Sunny Study Group.

Dua hari yang lalu, dia dilarikan ke rumah sakit karena keracunan makanan. Maksudku, makanannya yang diracun.

Ibunya diduga sebagai si pembunuh karena dia pasti malu pada tingkah anaknya yang susah untuk dikendalikan. Aku lupa sudah berapa kali dia menyindir Adan di depanku. Ketika membandingkan putra bungsunya itu dengan tiga orang anak-anaknya yang lain, dia seakan-akan lupa kalau Adan juga memiliki hati dan harga diri.

Aku tidak sepakat pada ide yang menyebut wanita 55 tahun tersebut sebagai pembunuh. Setidaknya, dia selalu berusaha menghentikan suaminya ketika sedang ketagihan memukuli anaknya.

Selain sang ibu, ayahnya pun tidak luput dari gosip.

Aku hampir setuju, namun batal saat melihat ingus pria plontos di samping makam di sana. Baru kali ini aku menyaksikan tangisan yang berhasil membuat lendir hidung dan air mata berlomba-lomba menetes keluar. Dia memeluk nisan yang belum tertanam sambil memanggil-manggil nama anaknya.

Ada hal yang menarik sekarang. Kalian mau tahu? Eng- bukan apa-apa. Aku hanya melihat sosok Adan yang tengah berdiri dengan tatapan bingung di antara kerumunan pelayat. Tidak mengejutkan sama sekali karena ini bukan yang pertama kalinya bagiku.

Dia mengenakan celana jin hitam dan baju kaos biru laut selengan. Itu adalah setelan yang dia pakai ketika nyawanya berada di ujung tebing tempo hari. Rambut cepaknya kecokelatan. Bibir yang pucat dan kantung mata seolah-olah menekankan kalau dia adalah manusia yang sudah tidak ada lagi di dunia ini. Pembuat film horor sering memilih visual seperti itu untuk hantu mereka.

Kami beradu pandang, dan aku berusaha tersenyum ke arahnya. Dia semakin tampak sendu. Ck! Aku sudah keterlaluan. Makam memang bukan tempat untuk tersenyum, walaupun niatku tulus karena ingin menghiburnya.

I apologize, bisikku di dalam kepala; berharap dia mendengarnya.

Lihat selengkapnya