Aku yakin –sangat yakin- setiap orang pasti terobsesi pada dua atau tiga hal. Misalnya, kegalauan otak mendera ketika ada yang mengintip isi dompetku. Satu-satunya obat adalah dengan mengeluarkan seluruh benda, lalu menata ulang isinya.
Ayah berbeda. Dia tidak akan menggunakan kamar mandi yang lampunya masih menyala. Bagian paling menyebalkan adalah, orang terakhir yang masuk harus mematikan lampu tersebut.
Ibu berada di level tertinggi. Aku tidak bisa menghitung jumlah obsesinya. Namun begitu, ada satu yang paling menganggu.
“Tolong, Fer. Jangan bikin kesal karena kalian malas dengarin Ibu. Coba kembalikan barang yang kalian ambil itu ke tempatnya. Kunci, pisau, jarum, gunting, gayung, dan piring itu, owh! Kalian memang pengen Ibu gila.”
Setiap ibu di dunia ini harus diberi tempat untuk mengeluh dan mengomel karena hal itu akan mengurangi kebosanannya. Itulah ide yang ayah dan aku pikirkan. Kami sudah menganggap setiap ocehannya sebagai raut kesehatan.
Iya, ketika omelan itu hilang, maka ayah harus mengajak ibu ke klinik ataupun mall.
Malam ini, kami dibungkam oleh arti dari pesan ibu. Kekesalan itu bukan hal sepele. Ibarat keping mosaik, semua benda memang harus berada di tempatnya. Kalau tidak, maka makhluk yang lebih hitam dari malam akan menampakkan diri.
Aku memimpikan teman sekelas yang satu per satu meledak menjadi serpihan abu. Ketika saatnya ikut berubah, tepukan kasar pada pipi menarikku ke dunia nyata. Di sisi ranjang, ibu mendelik dengan bibir bergetar.
“Ssttt, jangan bersuara, ada …,” bisiknya. Aku tidak pernah melihat ibu bertingkah seperti ini.
“Ayah di mana?” Kamar hanya temaram, jadi pemandangan di sekitar masih bisa terlihat.
Ranjang berderit ketika aku bangkit. Ibu terlonjak memelukku. “Udah Ibu bilang, Naak, jangan ngapa-ngapain dulu.” Suaranya lebih tipis dari sehelai benang.
Di antara embusan napasku dan ibu, telinga menangkap bunyi ketukan cepat tidak beraturan. Asalnya tepat di atas kami. Lantai dua. Kalau boleh menduga, ketukan itu seperti dihasilkan oleh potongan-potongan besi yang membelai pagar tangga.
Di dalam kamar, ribuan semut hitam berebutan menyusuri pinggiran plafon hingga menimbulkan suara gemeretik halus. Sementara itu, ibu masih setia membekap mulutku. Aku sudah tidak tahan.
Kujauhkan tangannya. “Di mana ayah?”
“Ayahmu enggak pulang malam ini karena dia ada seminar dan harus menginap.”
“Kenapa Ibu sampai takut begini?”
Dia menelan ludah. “Makhluk itu datang, Fera. Ibu harus bilang berapa kali supaya kalian paham? Jangan lupa mengembalikan barang ke tempatnya semula.”
Aku belajar banyak hal tentang ibu malam ini. Bukan tentang dia yang bahagia hanya dengan kami melahap setiap masakannya ataupun menelepon untuk bertanya letak kaus kaki, melainkan sesuatu yang lebih besar.
Di masa lalu, buyut dari pihak ibu memiliki teman khayalan. Dia menamainya Giharo. Makhluk berjubah hitam dan berwajah kosong itu hanya mendatangi keturunan yang tidak disiplin, lalu membawa mereka ke dimensinya.
“Tapi Ibu enggak pernah cerita ke kami,” protesku.
Ibu mendorong pelan kedua bahuku. “Sudah ribuan kali, Fera.” Dia hampir menangis.
“Kok bisa?”
Setiap ibu berusaha mengingatkan, ternyata pendengaranku dan ayah tertutup. Informasi yang kami terima hanya setengah, yaitu perintah agar mengembalikan barang ke tempatnya masing-masing.