Pada jaman dahulu kala…
Tidak, ada banyak cara untuk mengawali sebuah dongeng.
Toh, ini bukan dongeng sungguhan.
Jadi, bagaimana seharusnya cerita ini dimulai?
Lupakan saja. Awalan tidak selalu penting.
Benar, mari lanjutkan.
Dulu ketika usia kita masih enam tahun, ketika kita masih anak-anak yang mengenakan celana pendek di atas lutut, dan masih sering dimarahi mama karena makan permen dan coklat setelah gosok gigi sebelum tidur, kita anak-anak yang ceria. Dengan gelak tawa dan candaan, dengan kesedihan dan tangisan yang tak pernah berlangsung lama, dengan luka yang hanya sebatas gores setelah jatuh dari sepeda …. Kita adalah anak-anak paling bahagia se-London.
Kita tak terpisahkan. Walau oma seringkali mengatakan harus memisahkan kita, mama tidak pernah melakukannya. Aku akan selalu berada di sisimu, walaupun kau menyembunyikan kepingan marzipan terakhirmu dariku. Begitu pula denganmu. Kau akan selalu berada di sisiku, walaupun kusembunyikan coklat susu terakhirku yang hampir meleleh. Lalu, kita akan menyelinap masuk ke bawah tempat tidur untuk membagi segalanya dan menyanyi. Sebuah lagu yang pernah oma nyanyikan ketika usia kita masih lebih kecil, kemudian kita tertawa.
Humpty Dumpty sat an a wall
Humpty Dumpty had a great fall
All the king’s horses and all the king’s men
Couldn’t put Humpty together again
Kita adalah anak-anak paling bahagia se-London.
Tidak ada anak-anak di London yang lebih bahagia daripada kita – kau dan aku.
Sampai hari itu datang.
Hari di mana kau mulai jatuh sakit dan kulihat binar dalam matamu meredup.
*****
Para perawat dan dokter sudah hafal benar siapa sosok remaja berambut pirang dengan jersey sepak bola Chelsea yang dominan menggunakan warna biru, yang selalu datang dengan senyum lebar di wajahnya. Sembari menenteng barang-barang yang disimpannya dalam tas kertas berukuran tanggung, remaja itu akan menyapa siapa saja yang ditemuinya. Para perawat, dokter, petugas kebersihan, terapis, pengunjung rumah sakit lainnya, atau siapa saja. Ia murah senyum dan ramah. Maka, ketika ia datang dan mulai menyapa, tidak seorang pun berusaha menghentikan tindakannya. Seolah-olah, dia adalah si anak baik dengan suasana hati yang selalu baik kepada siapapun yang ditemuinya.
Namun, bukan itu kenyataannya. Hal-hal yang dilihat dan dihafal betul oleh para perawat dan dokter di rumah sakit bukan kenyataannya. Mereka layaknya penonton opera sabun yang tidak pernah tahu bahwa hal-hal yang dilihat dan dipercayai sama sekali bukan kenyataan. Boleh dibilang hanya sandiwara berulang belaka.
Jack Johnson sudah mengatur dirinya sebaik mungkin. Segala bentuk keburukan suasana hatinya telah ia telan dan pendam sedalam mungkin, sehingga hanya akan ada sapaan dan senyum ramah ketika ia tiba. Tidak ada yang mencurigakan dari caranya membungkuk sopan atau caranya menarik sudut-sudut bibirnya guna membentuk sebuah senyuman. Gerakan dan caranya tersenyum tidak pernah terlihat kaku. Caranya menyapa dan berbicara dengan nada riang gembira juga tidak pernah terdengar dipaksakan. Ia melakukannya dengan baik dan telah berhasil menjadi anak baik pada setiap kunjungannya ke rumah sakit, termasuk kunjungannya yang ketiga di bulan ini.
Hari ini ia berulang tahun. Tepat pada kunjungan ketiganya di bulan ini. Setelah sekian lama, akhirnya ia genap berusia 16 tahun. Bukan lagi anak ingusan yang selalu tak boleh banyak dilibatkan dalam masalah besar, sekarang ia sudah jadi remaja tanggung. Dua tahun lagi, ia akan memasuki usia legal dan menjadi manusia dewasa. Sangat cepat, tapi seperti inilah kehidupan. Tidak ada anak-anak yang tetap tinggal menjadi anak-anak jika mereka masih hidup, termasuk dirinya. Begitu juga seluruh anak yang telah lahir dan hidup di dunia. Mereka juga kelak akan menjadi dewasa.
Jack menarik napas panjang. Sebelum memutar kenop pintu ruangan yang menjadi langganan kunjungannya setiap setidaknya tiga hari sekali, ia melirik sekilas pada tas kertas yang dijinjingnya, pada barang-barang bawaannya. Dalam waktu singkat, ia mulai menerka-nerka sendiri apakah seseorang yang akan menerima bingkisan di dalam tas ini akan tersenyum seperti dirinya atau setidaknya berusaha tersenyum karena dengan begitu, ia dapat melihat kembali pendar dari sepasang netra yang telah lama meredup.
“Hai, Jill.” Setelah cukup lama hanya diam di depan pintu ruangan sembari menatap barang-barang bawaannya, Jack akhirnya meraih kenop pintu dan memutarnya. Kembali ia tarik sudut bibirnya membentuk senyuman, hingga matanya turut membentuk lengkung sabit yang manis dan ramah. “Selamat ulang tahun!” serunya ceria.
Sosok bernama Jill yang baru Jack sapa penuh keceriaan, tidak membalas dengan keceriaan yang sama. Hanya senyum lemah tak bertenaga yang mampu ditampakkannya melalui bibir pucat yang nyaris sewarna bibir porselen. Sorot matanya yang menatap ke arah datangnya Jack juga tak menampakkan binar-binar kebahagiaan yang sama. Seakan berbanding terbalik dengan senyum Jack yang mengembang setinggi awan atau tatapan matanya yang penuh binar kebahagiaan di hari kelahiran mereka, Jill justru terlihat begitu suram dengan bibirnya yang pucat, sorot matanya yang lesu, dan tak sedikit pun suara yang terdengar dari bilah bibirnya untuk sekedar membalas sapaan penuh keriangan Jack.
Jack menutup pintu perlahan, berusaha tidak menimbulkan suara sekecil apapun. Ia masih berusaha mempertahankan senyumnya, walau bahunya tampak tak setegar tadi. “Bagaimana kabarmu, Jill?” Pertanyaan klasik yang sekarang justru membuat Jack ingin melempar kepalanya dari Westminster Abbey. “Kau merasa keadaanmu membaik?” Itu juga bukan pertanyaan yang bagus dan Jack memang payah tentang hal ini.
“Kau sudah melihat keadaanku, Jack.” Jill menarik selimut, hingga menutupi sepasang kakinya yang kurus kering. Matanya yang sayu tampak berusaha keras memancarkan keceriaan seorang anak yang tengah berulang tahun. “Ngomong-ngomong, selamat ulang tahun juga untukmu, Jack. Senang sekali kau mengunjungiku ke sini.”
Ucapan tulus itu membuat senyum ceria Jack kini justru menjelma menjadi cengiran kikuk.
“Aku membawakanmu kado,” ujar Jack memberitahu. Tanpa disuruh, ia langsung menarik kursi yang berada tepat di samping ranjang Jill dan duduk di sana. Dengan usaha keras untuk mempertahankan senyum penuh kebahagiaannya yang sejatinya hanya kesemuan, Jack membuka tas kertas yang dibawanya. “Aku membawakanmu sepaket coklat Cherbonnel et Walker Peter Rabbit. Kau ingat coklat ini? Kita sering makan coklat ini ketika kecil dulu. Aku ingat, kau suka coklat yang bentuknya mirip buntut kelinci, ‘kan? Aku juga suka, tapi aku lebih suka coklat putihnya yang kotak-kotak. Dan boneka kelincinya. Aku teringat padamu….,”
Hanya Jack yang banyak bicara di antara mereka. Tidak peduli apakal Jill mendengarkannya atau malah mengabaikannya, Jack terus berbicara. Setiap kalimat yang menyelinap keluar dari bibirnya terdengar menyenangkan. Ia seperti membacakan ulang sebuah dongeng kepada anak-anak yang duduk bersila suka rela demi memerhatikan setiap jalinan kisahnya, dilengkapi dengan sepasang netra yang seakan turut berbicara dan gerak tubuh yang lincah. Ia berusaha terus membalut dirinya dengan keceriaan di hari yang sejak dulu selalu menjadi hari yang mereka – dirinya dan Jill – tunggu-tunggu.
Jack mengeluarkan semua bawaannya dan menyusunnya di meja nakas yang ada di samping ranjang Jill. Semuanya. Coklat-coklat, boneka kelinci yang hanya seukuran genggaman tangannya, dan buku. Sebuah buku dongeng dengan gambar kelinci besar pada bagian sampulnya. Tertulis di sana: The Tale of Peter Rabbit oleh Beatrix Potter.
“Aku membawakanmu ini.” Jack mengayunkan buku itu ke udara, berusaha menggugah Jill dari pandangannya yang sayu dan kosong. “Kubeli saat perjalanan ke mari karena setiap kali aku melihat kelinci, aku teringat padamu. Peter Rabbit juga tampak seperti dirimu.”
Jill susah payah tersenyum. Tangannya yang kurus kering dan pucat seperti mayat hidup berusaha menggapai buku yang diayunkan saudara kembarnya, dan Jack berusaha membantu dengan meletakkan buku itu ke pangkuan Jill. “Terima kasih,” ucapnya tulus, penuh kesungguhan. “Aku tak dapat memberimu kado. Maafkan aku.”
“Mengapa demikian?” tanya Jack. “Maksudku, mengapa minta maaf? Kau tidak perlu minta maaf hanya karena aku tak memberiku kado. Aku juga tidak ingin kado.”
Dahi Jill tampak mengernyit. “Kau tak ingin kado?” tanyanya dengan suara serak.
“Aku sudah membeli kadoku sendiri.” Jack tersenyum penuh kebanggaan sambil menepuk ringan dadanya sendiri beberapa kali. “Lagipula, aku sudah cukup tua untuk mengharapkan kado dari orang lain. Aku bisa membeli kado untuk diriku sendiri. Selama aku memiliki uang, kupikir aku bisa membeli segala hal di dunia sebagai kado ulang tahunku. Menurutmu bagaimana?”
Harusnya Jill tertawa.
Dulu Jill selalu tertawa pada semua hal konyol yang dikatakannya. Tidak pernah sekalipun Jill melewatkan kekonyolannya sebagai hiburan segar yang terbarukan. Poin-poin yang Jack tahu tentang saudara kembarnya adalah ketika ia berusaha melawak – walau lawakannya sama sekali tidak lucu – Jill akan selalu memberikan apresiasi: sebuah tawa renyah yang membuat rasa malunya tidak begitu kentara, sebuah tawa hangat yang membuatnya merasa berhasil menghibur walaupun hanya satu orang, dan sebuah tawa manis yang membuatnya menyadari bahwa si pemilik tawa adalah sebagian dari dirinya. Sayangnya, hari ini tidak lagi. Ketika Jack melemparkan candaan konyolnya, Jill tidak tertawa. Tersenyum pun rasanya sulit sekali.
Justru, alih-alih tersenyum, Jill justru batuk-batuk sangat keras. Saking kerasnya batuk itu, tubuh kurus Jill yang ringkih ikut tersentak-sentak dan buku Peter Rabbit yang Jack bawakan akhirnya jatuh mencium lantai. Namun, seakan tak berhenti di sana, batuk Jill menimbulkan masalah yang lebih besar. Ia muntah dan muntahannya berupa darah.
Senyum dan seluruh keceriaan Jack perlahan sirna. Ia lantas berlari ke luar ruangan, memanggil siapa saja dan mengatakan bahwa saudara kembarnya membutuhkan pertolongan, sementara ia bukanlah orang yang dapat menolong saudara kembarnya. Padahal ketika mereka masih kecil dulu, Jill adalah orang pertama yang akan membantunya jika ia tertimpa masalah. Juga orang pertama yang mengulurkan permen ketika ia baru saja dimarahi.
Jack termenung ketika para perawat berlari melewati bahunya. Kemudian ia mendengar suara orang tuanya yang juga berlari melewatinya. Keceriaannya telah sirna ketika ia menyadari kenyataan bahwa Jill sangat sakit dan menderita, sehingga penderitaan itu membuatnya tak lagi sanggup untuk setidaknya berpura-pura ceria di hadapannya, di hari ulang tahun mereka.
Jill tidak hanya sakit. Ia sekarat.
*****
Hampir tengah malam dan Jack belum bisa tidur.
Sejak Jill sakit, Jack akui, ia memang kerap kali susah tidur. Naik ke tempat tidur pukul 10 malam tidak menjamin ia bisa tidur lebih cepat, tanpa terbangun di tengah malam. Bahkan terlalu lelah dengan kegiatan klub sepak bola di sekolah juga tidak menjamin dirinya untuk menikmati tidur malamnya yang nyenyak dengan mimpi-mimpi indah. Jack tidak bisa. Ia selalu kesulitan tidur sejak Jill sakit dan meninggalkan kamar ini untuk lebih banyak menghabiskan waktu di kamar rumah sakit, bersama orang tua mereka yang siap berjaga 24 jam dan menjadikan rumah sakit sebagai rumah utama mereka.
Jack kesepian. Itu benar. Setelah lewat pukul 8 malam, hanya dirinya yang masih tinggal di rumah ini. Kedua orang tuanya hanya akan pulang dan meluangkan waktu sebentar untuk mengambil pakaian-pakaian bersih, mengambil keperluan lain, dan mengantarkannya makan malam yang selalu dibeli dari restoran Italia, Cina, Jepang, Korea, dan Prancis yang selalu menyediakan makanan-makanan hangat di ruas-ruas jalanan London yang tidak pernah tidur. Setelah lewat pukul 8 malam, mereka akan mengucapkan salam perpisahan sementara, mengatakan padanya mereka akan bertemu lagi besok, dan mereka akan pergi ke rumah sakit. Lagi. Begitu terus setiap hari, berulang dari hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan, tahun ke tahun.
Tahun ini adalah tahun keempat Jill sakit. Tahun keempat orang tuanya lebih banyak menghabiskan waktu mereka di tempat kerja dan rumah sakit. Tahun keempat ranjang Jill di sebelah ranjang Jack kosong. Tahun keempat Jill meninggalkan kamar ini untuk pindah ke kamar rumah sakit. Tahun keempat Jack lebih banyak ditinggalkan daripada anak kucing jalanan. Tahun keempat Jack kehilangan masa remaja yang bisa dilaluinya bersama Jill.
Sore tadi, mamanya menelepon. Dengan sayup-sayup ia memberitahu Jack bahwa dokter baru saja memberikan vonis baru pada Jill. Katanya, Jill tidak bisa bertahan lebih dari lima bulan. Kondisi kesehatannya terus memburuk, walaupun ahli kanker dari Universitas Oxford dan Imperial College London telah berusaha memberikan harapan hidup yang lebih besar kepada Jill. Kenyataannya, kanker yang hidup dan tumbuh di kepala Jill tidak mudah dilenyapkan seperti hama di perkebunan jagung Paman Bernardo. Semakin para dokter ingin memberikan harapan hidup yang tinggi untuk Jill, semakin ganas pula kanker itu menyerang Jill dan melemahkannya, memukulnya hingga kesakitan.
Jill sedang sakit keras dan sekarang sedang sekarat. Akan tetapi, tidak ada yang bisa Jack lakukan, selain tetap berusaha tersenyum supaya Jill tidak berpikir bahwa ia khawatir. Jika ia tidak tersenyum dan tampak mengkhawatirkan Jill pada setiap keadaannya yang tidak pernah membaik, situasi akan menjadi semaki buruk. Jill tidak akan melihat harapan dari orang lain, lalu tidak akan pernah melihat harapan dalam dirinya sendiri.
“Memangnya ada harapan seperti apa?” Jack mendengus. Dari balik kegelapan yang masih menyisakan cahaya remang-remang dari lampu-lampu di depan rumahnya, ia melihat jam dinding menunjukkan tepat tengah malam. “Besok aku harus ikut pelajaran olahraga dan sekarang aku tidak bisa tidur lebih cepat dan lebih baik.”
Dulu saat ia terjaga di tengah malam, ia akan menyelinap ke ranjang Jill dan membangunkan bocah itu. Walau kesannya agak nakal, tapi Jill selalu bangun dan menemaninya. Mereka akan mengendap-endap dalam gelap, berbekal pengelihatan seadanya, menuruni tangga kayu untuk menyelinap ke dapur, dan memakan apa saja yang ada di dapur. Biskuit gandum, biskuit jahe, makanan ringan yang tidak pernah mama mereka perbolehkan santap selepas pukul 8 malam, permen-permen kapas, jeli-jeli kenyal, atau apa saja, termasuk kudapan kecil papa mereka yang tersisa. Kemudian, mereka akan mengisi perut dengan susu dingin dan pergi tidur lagi.
Namun, Jill terlalu tidak sehat untuk pulang dan menemani Jack melakukan agenda tengah malam yang rutin dilakukannya tiap kali merasa tak dapat tidur. Mau tak mau, ia melakukannya sendiri. Tanpa teman karena Jill hanya akan tinggal di kamar rumah sakit entah sampai kapan. Tanpa tantangan karena selepas pukul 8 malam, Jack menguasai rumah ini. Tak ada orang tua yang bisa saja keluar dari balik kamar mereka dan memergokinya.
Hidup seakan-akan berubah hanya dalam waktu semalam, padahal sudah empat tahun berjalan. Sudah empat tahun Jill meninggalkan rumah dengan dalih, rumah sakit adalah tempat paling sempurna untuk Jill. Pertolongan profesional selalu diberikan lebih cepat untuk Jill yang membutuhkannya. Sudah empat tahun.
“Air ini lebih punya rasa ketimbang semuanya,” keluh Jack. Menuruni tangga dan menyelinap ke dapur dalam gelap tanpa tantangan membuatnya tiba lebih cepat. “Biskuit ini bahkan lebih buruk daripada kelihatannya,” keluhnya lagi di antara remah-remah yang melesat keluar.
Biskuit gandum itu rasa mint. Rasa kesukaan Jill. Jack membelinya pada dua kunjungan sebelumnya, tapi dokter bilang, Jill tidak boleh makan biskuit sembarangan. Jadi, Jack harus membawanya pulang dan menyimpannya di kulkas, baru sempat menyantapnya sekarang karena Jill tidak akan pernah diizinkan makan biskuit kesukaannya lagi.
Jack mendengus. Bibirnya dipenuhi remah-remah biskuit yang memberikan sensasi segar setiap kali ia menyiram tenggorokannya dengan air. “Dan telur,” gumamnya melirik pada kotak kecil berhiaskan pita ungu yang entah sejak kapan berada di dekat bungkus biskuitnya. “Jill tidak diizinkan makan telur.”
Dahinya mengerut. Dengan ingatannya yang tidak begitu bagus, Jack ingat bahwa ia tidak mengambil telur dari kulkas. Bahkan tidak ada telur di kulkas. Mereka hanya punya beberapa botol air mineral, roti yang sudah jamuran, pasta yang belum dimasak, sayur-sayuran yang tidak tahu kapan akan bisa dimakan, buah-buahan yang sudah lama tidak tersentuk, seliter susu yang nyaris tandas, kecap yang sudah lama tidak digunakan, berbungkus-bungkus biskuit gandum yang tidak kunjung dimakan, dan beberapa lembar keju. Mereka benar-benar tidak punya telur dan telur ini muncul.
Meletakkan sisa keping biskuitnya tanpa khawatir akan mendatangkan sekoloni semut, Jack meraih kotak telur di samping bungkus biskuitnya. Ia mengamatinya dengan baik untuk sekedar memutuskan bahwa: berdasarkan warna cangkangnya, telur ini sudah direbus; berdasarkan cara mengemasnya, telur ini tampak seperti telur Paskah daripada telur rebus biasa; berdasarkan ukurannya, tentu saja ini telur ayam; dan berdasarkan warna pitanya, ini warna kesukaan mamanya.
“Tapi kapan mama menaruhnya di sini?” tanya Jack bergumam pada dirinya sendiri. “Atau dia meninggalkan ini sebagai permintaan maafnya untukku?”
Jack tidak menemukan jawabannya, tetapi lancang menarik kedua ujung pita pada bagian tengah badan kotak telurnya. Ia mengeluarkan telur dari singgasananya dan mengamati telur itu seakan tidak ada hari esok.
Lantas, ia meringis. “Ini telur ayam sungguhan,” selorohnya, mengetukkan bagian atas telur ke pinggiran meja makan di dapurnya yang keras dan retak panjang seketika telur itu dapatkan di cangkangnya. “Dan sungguhan telur rebus.”
Selama 16 tahun hidup, Jack melihat telur rebus ratusan kali. Terlebih saat Paskah. Ia melihat telur di mana. Telur yang dihias. Telur yang dilukis. Telur yang diwarnai. Telur yang ditempatkan pada kotak-kotak indah semacam ini. Telur di rumahnya. Telur di toko kue langganannya. Telur di sekolah. Telur di mana pun. Intinya, ia melihat telur berkali-kali selama hidupnya dan ini bukan telur pertama yang dilihatnya.
“Rasanya mirip telur rebus biasa,” komentarnya setelah satu gigitan masuk ke dalam mulutnya, menghalus perlahan setelah ia mengunyahnya. Bagian kuning telur yang gagal menjalani proses pengunyahan menempel pada bilah bibirnya yang basah. “Oh! Kuning telurnya agak manis?”
Kuning telur dari telur rebus selalu terasa hambar di lidah Jack, kecuali ia memakannya dengan sedikit garam dan saus cabai. Namun, kuning telur yang satu ini terasa manis. Seperti krim kue yang diberikan sedikit perasan jeruk lemon dan diaduk bersama beberapa beri biru segar, kuning telur pada bagian tengah telur rebus ini terasa manis, sedikit masam, dan enak. Bagi Jack, kuning telurnya terasa enak, tidak membosankan, dan yang paling penting, tidak memicu keinginan muntah yang tidak tertahankan.
Ia mengigit telurnya lagi. Semakin habis kuning telur masuk ke mulutnya, semakin dalam pula rasa manis itu. Namun, kini alih-alih terasa seperti krim kue dengan sedikit perasan jeruk lemon dan buah beri biru, kuning telurnya kini mirip nektar bunga-bunga, sedikit sirup maple, dan rasa yang familiar. Yeah, rasa yang familiar.
Kerutan di kening Jack kian bertambah dalam. “Ini seperti coklat yang dilelehkan,” komentarnya menerka-nerka. “Yah, ini coklat yang dilelehkan.”
“Memangnya berbeda rasa coklat utuh dengan coklat yang dilelehkan?”
Jack tersentak dan tersedak di waktu bersamaan. Seseorang baru saja mengomentarinya, sementara ia satu-satunya yang berada di rumah.
“Aku sudah menunggumu sejak tadi, tahu?” Gerutuan itu menjadi lebih keras, lebih berani. Akan tetapi, ketika Jack melihat sosoknya, itu sama sekali tidak terlihat seperti manusia. Tidak terlihat seperti dirinya. Namun, kelinci. Kelinci gemuk yang berjalan dengan dua kaki seperti manusia. Kelinci gemuk yang menggunakan sepasang kaki depannya sebagai tangan. Kelinci gemuk yang memakai pakaian serapi seorang pengacara. Kelinci gemuk yang memegang jam saku di tangannya. Kelinci gemuk yang menatapnya galak. Kelinci gemuk yang memakai kacamata. “Lamban!”
Jack menampar pipinya sendiri. “Hey!” teriaknya begitu melihat kelinci itu berlari, setengah melompat menjauhi pintu dapur, bergabung bersama aram temaram dan meninggalkannya dalam gelap.