Seharusnya Jill terlihat sesehat yang Jack lihat semalam. Dengan sorot mata yang berbinar-binar, bukan dengan mata besar yang berkedip-kedip putus asa. Dengan senyum manis merekah, bukan dengan bibir sepucat mayat. Dengan rambut pirang halus yang ditata menggunakan gaya paling beken yang digunakan remaja-remaja di London, bukan dengan kepala botak tanpa sehelai rambut pun. Dengan suara khas yang perlahan menjadi berat, bukan kebisuan yang mencekam. Intinya, seharusnya Jill terlihat sesehat yang Jack lihat semalam saat ia hendak naik ke kamarnya. Jill bahkan mengajaknya bersepeda, bukan hanya menatapnya dari ranjang seperti ini.
Jack sudah akan pergi ke sekolah pagi ini, pukul delapan pagi, ketika papanya datang menjemput dengan wajah lesu. Ada kantong hitam mengerikan yang melingkar di bagian mata pria itu. Kerutan di dahinya tampak semakin dalam dari hari ke hari. Kulit wajahnya tampak semakin menua, mengerut, dan tidak terawat. Pria itu berjalan tergopoh-gopoh dan meminta Jack untuk tidak pergi ke sekolah sambil mengatakan, “Kondisi kesehatan Jill merosot tajam.”
Kalimat itu seperti sebuah belati dan tendangan yang menyentak Jack cukup dalam, hingga ia jatuh tersungkur, kembali pada kenyataan. Kalimat yang dikatakan papanya seperti ingin sekali tidak dipercayainya, mengingat ia telah melihat Jill kembali. Jill sehat dan ceria. Kondisinya segar bugar, tampak memiliki kualitas hidup dan harapan yang sempurna. Namun, roman wajah papanya serupa penjelasan tanpa kalimat, penjelasan yang membawanya pulang dari angan-angan dan kenyataan semu yang telah dipercayainya dalam semalam.
Papanya benar. Kondisi kesehatan Jill merosot tajam. Seakan berbeda dengan kondisi pada kunjungan-kunjungan Jack sebelumnya, kini Jill seakan tidak lagi memiliki daya untuk sekedar melirik dan tersenyum melihat kedatangannya. Saat Jack datang dan membuka pintu, Jill hanya diam di ranjangnya, dengan mata besarnya yang berkedip-kedip putus asa. Bibirnya pun tak berupaya menyunggingkan seulas senyum tipis. Ini seolah-olah semakin lama dirawat, semakin lama berada di sini, Jill justru kehilangan hidupnya.
Jack mengepalkan tangannya. “Semalam kau bilang kita akan bersepeda melewati London Eye,” bisiknya, meraih tangan Jill yang kurus, kering, pucat, dan tak berdaya. Sakung pucatnya kulit Jill, Jack bisa melihat pembuluh daya membayang di sana. “Lalu, kita akan makan di restoran cepat saji dan bersepeda lagi melewati Istana Kensington.”
Jill tidak memberikan tanggapan. Napas yang ia perjuangkan sekuat tenaga justru tampak seperti penyiksaan panjang baginya. Tak satu pun dari anggota tubuhnya yang bergerak. Hanya mata besarnya yang berkedip-kedip putus asa, sehingga saat Jill memejamkan matanya sejenak, Jack merasa takut bukan kepalang. Takut kalau Jill tidak akan pernah membuka matanya lagi.
“Dokter bilang, Jill hampir kehilangan harapannya.” Jack merasakan tangan mamanya merangkul bahunya lembut dan berkata dengan suara kepalang sedihnya. “Kami tidak bisa melepaskan Jill, tapi menahannya tetap sakit seperti ini, pasti menyiksanya.”
Kedua tangan Jack terkepal. “Jill pasti masih bisa diselamatkan. Dia akan sembuh dan kembali seperti dulu lagi.” Ia berani mengatakannya hanya karena ia tidak ingin hidup diliputi duka atas kepergian saudara kembarnya dan lebih berani mengatakannya lagi hanya karena semalam ia melihat Jill segar bugar.
Jack tidak bisa terus berpaling. Kondisi kesehatan Jill pernah sangat membaik, tapi ia sudah berkali-kali mendengar dokter mewanti-wanti bahwa kondisi kesehatan Jill bisa saja merosot tajam. Walaupun mereka sudah menerapkan metode pengobatan terbaik, sel-sel kanker yang hidup di otak Jill mungkin saja menjadi kian ganas dari waktu ke waktu dan merasa tenang setelah melihat Jill membaik hanya menimbulkan kelengahan semata. Sekarang, mau tidak mau, Jack harus mengakui kenyataan bahwa Jill memang sekarat, Jill memang di ambang kematian.
“… Jika kau ingin melihat saudara kembarmu seperti yang selalu kau harapkan selama ini, kembalilah ke sini. Aku dengan senang hati akan mengutus Cuddlebundle untuk memimpin jalanmu.”
Jack memalingkan wajah ke jendela. Jill memejamkan mata lagi dan ia tidak sanggup menghitung mundur sampai Jill membuka kembali matanya. “Aku ingin Jill pulang, kembali ke rumah dan hidup seperti dulu,” ungkapnya dengan suara mencicit seperti tikus terjepit.
“Kami menginginkan hal yang sama denganmu, Jack,” balas mamanya. Suaranya tak kalah putus asa ketimbang suara papanya tadi. “Kami juga ingin kembali pada kehidupan lama, bersamamu dan Jill, tapi kami sedang berusaha memberikan yang terbaik untuk Jill.”
Kepalan tangan Jack kian menguat. Buku jemarinya mulai memutih. Sudah sepuluh detik dan Jill tidak kunjung membuka matanya. “Kenapa harus Jill?” Ia ikut memejamkan matanya erat-erat, menenggelamkan dirinya dalam gelap dengan harapan, ketika matanya terbuka kembali, mata Jill juga akan terbuka.
Akan tetapi, sampai Jack membuka kembali matanya, pada detik kedua puluh, Jill tetap tidak kunjung membuka matanya dan membiarkannya berkedip, meski penuh rasa putus asa.
*****
Ini tengah malam yang keseribu kalinya Jack tetap terjaga, kendati matanya terasa berat.
Sejam lalu, ia menerima telepon dari mamanya. Jill kritis dan harus dirawat di kamar baru, sebuah kamar yang memungkinkan Jill untuk diawasi setiap saat dan setiap kali kondisi Jill menurun, bala bantuan terbaik akan diturunkan. Namun, konsekuensinya adalah tidak sembarang orang diperbolehkan masuk dan membesuk, termasuk kedua orang tua mereka. Jadi, Jill hanya akan diam di sana dengan bala bantuan yang akan berusaha menolongnya dan alat-alat yang menunjang hidupnya.
Jack benci harus menyebut alat-alat itu sebagai alat-alat penunjang hidup Jill. Mengakui bahwa Jill tidak dapat hidup mandiri tanpa bantuan paling tidak satu jenis alat, membuatnya ingin marah-marah setiap saat. Tempramennya akan memburuk. Segala sesuatu akan terasa buruk baginya dan setiap orang yang dilihatnya di rumah sakit seketika akan menjelma menjadi orang tolol baginya. Walau sebenarnya, ia mungkin saja lebih tolol karena sebagai kembaran Jill, ia justru tidak dapat memberi bantuan apapun, padahal seharusnya ikatan merekalah yang paling erat di dunia. Lebih erat daripada kaitan tali tambang.
Ia merasa tidak lebih berguna dari alat-alat yang katanya adalah penunjang hidup Jill. Alat-alat itu walaupun menyebalkan, setidaknya memiliki sumbangsih dalam hidup Jill. Mereka menyuplai nutrisi, menyebarkan obat ke seluruh tubuh, membantu Jill bernapas, juga membantu semua orang mengetahui harapan hidup Jill melalui detak jantungnya, sementara dirinya? Yah, hanya bisa menggerutu, menyalahkan alat-alat yang tak dapat bicara, menyalahkan takdir yang diberikan Tuhan, bahkan menyalahkan Tuhan. Ini bukan kali pertama ia merasa tidak adil untuk segalanya. Untuknya dan tentu saja untuk Jill.
Kenapa harus Jill? Pernyataan itu berdengung dan melintas dalam kepalanya belasan ribu kali sejak Jill pertama kali divonis memiliki kanker ganas dan menyebalkan di otaknya oleh pria aneh yang menyebut dirinya sebagai dokter ahli kanker. Akan tetapi, ia tak pernah temukan jawabannya dan alih-alih jawaban, pertanyaan itu justru memiliki cabang. Mengapa bukan anak-anak lain saja?
Ini tidak adil. Ia dan Jill masih belum dewasa. Bisa dikatakan, mereka masih anak-anak, masih kecil. Seharusnya mereka punya waktu bermain yang cukup atau waktu untuk pergi sekolah bersama. Karena mereka masih anak-anak, seharusnya mereka punya banyak waktu untuk mencoba wahana-wahana bermain anak di Disney Land sampai benar-benar bosan. Seharusnya ia memiliki saudara saudara kembarnya yang sehat jauh lebih lama.
Hatinya selalu terasa sakit setiap kali mengingat bahwa Jill pernah menjadi anak ceria dengan mata berbinar-binar yang sanggup mengayuh sepeda hingga belasa kilometer. Hatinya seperti ditusuk ribuan belati tajam setiap kali teringat Jill yang kurus pucat seperti mayat, dulu adalah anak segar bugar dengan pipi dan ujung hidung warna merah jambu. Menjadi semakin sakit jika mengingat Jill yang tidak berdaya saat ini, pernah begitu sehat sebelum penyakit itu datang menginvasi dirinya dan mengubah hidup mereka. Bukan hanya hidup Jill. Hidup Jack juga. Hidup orang tua mereka. Hidup keluarga mereka.
“… Jika kau ingin melihat saudara kembarmu seperti yang selalu kau harapkan selama ini, kembalilah ke sini. Aku dengan senang hati akan mengutus Cuddlebundle untuk memimpin jalanmu.”
Jack mendengus. Ia sudah berusaha sebaik mungkin untuk mengusir dengungan ucapan sosok gadis cantik jelita dengan sorot mata picik bernama Therasia itu dalam kepalanya. Namun, setiap kali ia termenung, kalimat itu akan diam-diam menyelinap dan bergaung dalam kepalanya. Mendekati tengah malam, kalimat itu muncul lebih sering dalam kepalanya, mengganggu setiap pemikirannya tentang Jill dan keluarganya, mendistraksi dirinya dari pemikiran tentang betapa ingin dirinya melihat Jill kembali seperti dulu.
“Kurasa, aku memang harus tidur.” Jack memutuskan. Sayangnya, ketika ia hendak menarik selimutnya dan menenggelamkan seluruh tubuh di baliknya, pandangannya justru beradu dengan keberadaan kotak yang tak asing baginya. Kotak dengan pita ungu. Kotak dengan sebutir telur di tengahnya. Ia menahan napas.
Jack mengurungkan niatnya meraih selimut dan bersembunyi di baliknya. Tatapannya lekat terarah pada kotak di meja kayu mahogani yang berada di antara ranjangnya yang berantakan dengan ranjang Jill yang telah lama kosong. Padahal Jack ingat dengan baik, ketika ia masuk ke kamar dan naik ke tempat tidur, tidak ada apapun di meja itu, selain segelas air mineral, senter, dan sebungkus kecil biskuit. Jelas tidak ada kotak berisi telur di sana.
Kotak telur itu masih tampak seperti kotak telur yang ditemukannya kemarin. Seperti sebuah kemasan terbaik, kotak itu tampak cantik dengan pita ungu pada bagian atasnya. Ada sedikit motif bunga pada bagian bawah kotaknya yang transparan. Isinya? Tetap sama. Sebutir telur rebus diletakkan di dalam sana, dengan singgasana berupa remukan kertas yang membalut permukaan bagian bawah telurnya yang cembung. Akan tetapi, agak berbeda dengan yang ditemukan Jack kemarin, kini ia melihat secercah cahaya tipis melingkupi bagian luar telur, menjadikannya mirip lentera yang berpendar menyeramkan.
Jack menelan ludah susah payah. “Aku harus dieksorsis,” bisiknya pada dirinya sendiri. Kegelapan di sekitarnya dan cahaya tipis yang melingkupi telur di dalam kotak membuat bulu kuduknya meremang. “Aku tidak akan berhubungan dengan iblis.”
“… Jika kau ingin melihat saudara kembarmu seperti yang selalu kau harapkan selama ini, kembalilah ke sini. Aku dengan senang hati akan mengutus Cuddlebundle untuk memimpin jalanmu.”
Sebelah tangan Jack terkepal. Tanpa sadar, ia menahan napasnya. Kalimat itu berdengung dalam kepalanya lagi dan lagi. Ini seperti gadis itu – Therasia – membangun sebuah rumah di otaknya untuk menginvasi seluruh dokumen pemikirannya. Setiap satu pemikiran bocor, kalimat itu akan muncul seperti sebuah pengingat paten. Dua pemikiran bocor, kalimat itu akan menggaung semakin keras. Tiga pemikiran bocor, gaung dari kalimat itu seakan berusaha menyeretnya ke suatu tempat paling dasar yang penuh akan dosa.
Ia pernah membaca kisah-kisah para manusia yang berurusan dan mengikat jiwa mereka pada iblis. Biasanya, iblis-iblis itu akan datang karena mereka dipanggil. Kebanyakan dengan ritual khusus yang mengerikan atau mungkin dengan pengorbanan tertentu. Akan tetapi, Jack tidak pernah membaca kisah seseorang yang ditemui iblis secara cuma-cuma tanpa ritual pemanggilan dan adanya pengorbanan makhluk bernyawa. Namun, ia cukup tahu, bagaimanapun pemanggilannya, berurusan dengan iblis tidak pernah berakhir baik. Itu bisa saja berarti proses eksorsis yang lebih berat dan panjang.
Jack celingukan ke sekelilingnya. Kewaspadaannya berada pada dua tingkat lebih tinggi. Kemarin setelah ia menemukan kotak telur itu, seekor kelinci putih gendut yang memberenguti jam saku dan mengumpat tidak sabaran padanya muncul. Malam ini bisa saja begitu. Kotak berisi telur itu seperti pertanda tajam.
“… Jika kau ingin melihat saudara kembarmu seperti yang selalu kau harapkan selama ini, kembalilah ke sini. Aku dengan senang hati akan mengutus Cuddlebundle untuk memimpin jalanmu.”
Bimbang mulai menghampiri Jack. Cahaya tipis yang melingkupi telur itu berpendar dengan warna berubah-ubah. Semula berwarna perak, kemudian berubah menjadi keemasan. Kini, berwarna serupa api yang berkobar di balik gelap. Dengan gerakan lambat, garis-garis cahayanya yang tipis seakan menari-nari, membentuk tirai tipis yang mempercantik si telur yang terlindungi di dalamnya. Namun, semakin lama waktu cahaya itu menerangi si telur dengan pendarnya yang tidak konsisten, pergerakan cahayanya ikut berubah, membentuk sepasang anak laki-laki yang berlarian, saling mengejar. Lalu, pendarnya memantul ke dalam netra biru Jack yang kosong … Semakin kosong … Nyaris benar-benar kosong.
“Hey, aku membaca kisah tentang Peter Rabbit hari ini. Bagaimana denganmu?”
“Tentang petualangan Alice di Negeri Ajaib.”
“Bagaimana ia pergi?”
“Jatuh melalui lubang kelinci, kurasa?”
Jack menyergap kotak itu ketika kelebat memori tentang dirinya bersama Jill terefleksi melalui pendar cahaya yang melingkupi si telur. Ketika ia mengeluarkan telur itu dari kotak singgasananya, cahayanya tidak berhenti berpendar. Cahaya itu seperti segerombol kunang-kunang yang tengah bermain, membentuk pola-pola cantik dengan cahaya kemerahan dan keemasan, kemudian membentuk dua anak manusia yang tengah berlarian dan berhenti sejenak untuk bercengkrama, bercanda, dan tertawa bersama.
Keping cangkang telur terakhir berhasil Jack lepaskan dari telurnya beberapa saat setelah ia meretakkan cangkang telurnya dengan mengetuknya pada dinding yang dingin. Sayangnya, ketika Jack berhasil meloloskan telur rebus itu dari cangkangnya, telur rebus itu justru tidak tampak seperti telur rebus. Bagian putih telurnya berwarna agak merah muda dan ketika ia menggigit separuh telurnya, bagian kuning telur tampak sedikit berwarna ungu dengan rasa sedikit manis dan masam yang berpadu dengan rasa gurih.
Ia mengernyit. Pada gigitan kedua, bagian kuning telurnya terasa seperti selai stroberi yang baru jadi. Masam dan manis bercampur sedikit aroma harum yang khas, sementara putih telurnya justru terasa seperti roti panggang susu yang masih hangat dan kaya akan mentega yang gurih. Lalu, pada gigitan terakhir ketika ia menandaskan seluruh telur rebus itu, kuning telur putih telurnya terasa seperti selai di dalam macaron yang terlalu manis, menjengkelkan, dan menciptakan sensasi ngilu pada gigi gerahamnya.
Jack menjilat bibir atas dan bawahnya bergantian bersamaan dengan dirinya yang dikejutkan dengan terdengarnya lonceng yang berdentang keras. Dentangnya seakan siap mengalahkan dentang jarum jam Big Ben yang terkenal di seluruh dunia. Lalu, tak sampai lima detik, sayup-sayup ia mulai mendengar musik lagu anak-anak yang mengalun riang, penuh kegembiraan yang terpancar dari tiap tutur kata yang lugu dan manis.
Humpty Dumpty sat on a wall
Humpty Dumpty had a great fall
The king’s horses and all the king’s me
Couldn’t put Humpty together again
*****
“Lagu ini terlalu kekanak-kanakan untuk remaja seusia kita. Tidak bisakah kita menggantinya?”
Seakan terbangun dari tidur panjang ke dalam sebuah dunia mimpi, Jack tersentak. Suara Jill yang khas dan begitu dikenalnya dengan baik menyentaknya dari alam paling bawah dari dirinya. Ia menatap lurus ke ranjang yang berada di seberang ranjangnya dan melihat Jill duduk setengah berbaring di sana, dengan buku The Tale of Peter Rabbit karya Beatrix Potter terbuka di atas perutnya.
Jill memainkan sebuah alat pemutar musik di tangannya dan berkomentar lagi, “Aku ingin memutar satu lagu dari Dream Theater. Kau keberatan?” Matanya yang berpendar merah keemasan menatap Jack dengan sorot penuh harap. “The Spirit Carries On?”
Tiga detik dan Jack masih belum menjawab pertanyaan Jill. Ia sudah mendapat hal ini dua kali, rasanya mirip déjà vu. Namun, masih tetap tidak biasa setelah siang tadi ia benar-benar melihat Jill tidak berdaya dengan kondisi tubuhnya yang semakin memburuk, bahkan baru beberapa jam lalu ia diberitahu mamanya bahwa Jill mungkin saja sedang kritis, dan sekarang … Jill berada di ranjang yang telah lama kosong dengan keadaan segar bugar.
Jill kembali seperti dulu, jauh sebelum jatuh sakit dan tampak menyedihkan. Ketika mengutak-atik pemutar musik di tangannya, Jill tampak bebar-benar segar seperti bangun dari tidur yang nyenyak. Tidak hanya itu, surai pirangnya juga tampak bagus, walau berantakan seperti jerami telur ayam setelah bangun tidur. Setidaknya, rambut berantakan Jill setelah bangun tidur jauh lebih baik daripada kepala Jill yang kehilangan helaian pirangnya.
Jack tersenyum lebar. Perasaan hangat menyelinap dalam dadanya. “Aku tidak kenal Dream Theater,” ujarnya. Ia melihat Jill mengangkat sebelah alisnya dan menyibak selimut dari sepasang kakinya yang jenjang, dan sehat. “Tapi kedengaran bagus.”
“Yeah, kedengaran bagus.” Kedua bahu Jill terangkat skeptis. “Tapi kalau kita tidak turun sampai lima menit ke depan, mama akan membakar semuanya dan semuanya benar-benar akan berakhir. Yippie! Waktunya bangun dan beranjak dari tempat tidur!”
Senyum Jack mengembang semakin lebar, sudut-sudutnya terangkat semakin tinggi. Deretan giginya tampak terlihat di antara gelap yang membebat mereka. Jill baru saja melompat turun dari tempat tidur dan dapat berdiri tegak, kemudian berjalan dengan baik ke arah pintu. Anak itu sama sekali tidak terhuyung-huyung dan berakhir robot seperti beberapa tahun lalu ketika pertama kali merasakan gejala penyakitnya.
Jack lantas ikut melompat turun dari tempat tidurnya dan mengekor langkah di belakang Jill. Tidak peduli sudah seberapa lama, Jack masih tersenyum setiap melihat Jill mengambil langkah panjang dan mantap dengan baik, tanpa harus berpegangan pada dinding dan berhenti sejenak untuk menyeimbangkan kembali tubuhnya yang sempoyongan, walau pada setiap langkah yang Jill ambil, Jack mendapati keanehan.
Langkah Jill seharusnya tidak meninggalkan jejak. Sekitar mereka dan lantainya terlalu gelap untuk melihat jejak yang ditinggalkan Jill pada setiap langkah yang ditapakinya. Namun, Jill meninggalkan langkah. Pada setiap bagian lantai yang baru dipijaknya, kemudian ditinggalkannya untuk melangkah ke bagian lain, Jill meninggalkan jejak berupa cahaya merah kekuningan. Jejak aneh yang ditenggarai Jack sebagai kepingan cangkang telur yang berpendar dengan cahayanya.
Aku yakin aku tidak melempar cangkang telurnya di sana, pikir Jack. Ia berjongkok sesaat dan memungut kepingan kecil-kecil cangkang telur yang ditinggalkan Jill setelah langkahnya. Ketika ia menggenggamnya, kepingan kecil-kecil cangkang telur itu masih berpendar.
“Apa yang kau lihat?” Jill menginterupsi. “Kau benar-benar mau mama meledak dan melempar kita dari London Eye, ya?”
Jack mendongak, sesegera mungkin berdiri setelah mengembalikan kepingan cangkang telur ke lantai dan bersikap seakan semua baik-baik saja. “Tidak ada,” jawabnya sambil menyengir tiga jari. Jill menatapnya penuh selidik. “Ngomong-ngomong, Jill, kau ingat Grace dan Lucia Dimlock?” tanyanya seraya menuruni tangga, dua anak tangga di belakang Jill.