Hari yang dinantikan Kalos pun tiba. Celeso kembali mengunjungi Kalos di suatu sabtu yang tenang. Setelah bermalam, esoknya mereka bersiap meninggalkan villa itu.
“Bawalah beberapa pakaian dan barang berhargamu. Secukupnya saja. Kita akan berbelanja banyak di kota,” ucap Celeso menutup jendela dan memastikan seluruh aliran listrik villa itu sudah mati semua.
Kalos mengambil ranselnya. “Tenang saja. Aku hanya membawa beberapa helai baju dan buku, kok.”
Kedua orang itu keluar melalui pintu. Celeso menempelkan telapak tangannya ke pintu. Seluruh permukaan villa itu memancarkan sinar berwarna ungu selama beberapa detik sebelum akhirnya sirna.
“Apa yang kau lakukan?” tanya Kalos penasaran.
“Memasang segel jebakan. Jika ada yang berani menyentuh villa ini, orang itu akan terperangkap jeratan es. Yah, setidaknya dia bisa lepas ketika aku kembali kemari. Walaupun tidak banyak barang berharga di sini, aku tidak ingin apa yang kumiliki diusik seenaknya oleh orang asing.”
Kalos tersenyum getir. “Kau memang mengerikan Pak Tua.”
Celeso membalas senyum itu. “Terima kasih atas pujiannya yang sama sekali tidak membuatku senang.”
Kalos mengarahkan pandangannya kepada seekor kuda yang diikat di depan villa.
“Jadi, pada akhirnya kita akan menaiki makhluk lambat ini, ya?”
Kening Celeso berkernyit. “Menurutmu seharusnya kita menunggangi apa?”
“Ekliptorazor tampaknya pilihan yang tepat karena bisa sekalian membereskan pengganggu yang menghalangi perjalanan kita. Atau Jamburaktul, larinya lincah dah sangat nyaman untuk ditunggangi,” sahut Kalos menyebut nama makhluk buas yang tidak lazim ditemui di wilayah pemukiman dan biasanya terdapat di hutan liar termasuk Hutan Mandavia.
Kali ini giliran Celeso yang memberikan ekspresi ketakutan. “Kita ini ingin menuju kota. Jika kau menunggangi makhluk-makhluk buas seperti itu, yang ada kau hanya akan menimbulkan kegaduhan di tengah pusat kerajaan.”
“Yah, yah. Aku mengerti,” sahut Kalos sepakat sambil menepuk punggung kuda. “Ya sudah ayo bergegas. Aku sudah bosan di sini.”
Celeso menggeleng pasrah. “Baiklah. Beri aku jalan. Biar aku yang menungganginya.”
Kedua orang itu sudah berada di atas kuda yang berwarna perak. Kalos berpegangan kepada Celeso. Dan, mereka pun melesat cepat menuju Kerajaan Superbia.
Perjalanan menuju pusat kerajaan membutuhkan waktu sekitar 7 jam. Lumayan jauh dan memakan waktu. Selama perjalanan, Kalos terpukau menyaksikan pemandangan yang belum pernah dia lihat selama hidup di hutan Mandavia.
Saat memasuki sebuah desa yang bernama Sinfabel, mereka menemui pemandangan yang tidak akan dapat dilihat di tempat lain di sudut Kerajaan Superbia. Sepasang manusia sedang menenun kain yang panjangnya seakan menyelimuti langit. Mereka tidak tampak seperti manusia biasa karena memiliki sayap yang berkilauan dan memiliki kemampuan terbang.
“Kau pasti bertanya-tanya, makhluk apa yang ada di atas itu, kan?” tanya Celeso kepada Kalos yang duduk di belakangnya.
“Apakah mereka manusia yang memiliki kemampuan seperti burung?”
Celeso menggeleng. “Mereka bukan manusia. Selain manusia, tampaknya masih ada spesies lain yang berintelijensi tinggi di permukaan bumi ini. Salah satu di antaranya adalah mereka. Mereka dari spesies peri. Fisiknya seperti manusia, tetapi mereka punya sayap yang berkilauan. Gerakan tangan mereka lincah. Karena itulah mereka bisa menenun dengan cepat dan hasilnya sangat memuaskan. Sudah lima tahun mereka tinggal di desa ini dan kian hari hasil tenun mereka terkenal ke seantero negeri. Kerajaan mengetahui kemampuan mereka dan menawarkan penjagaan ketat untuk mereka agar tidak ada orang jahat yang mengusik mereka. Kau lihat di bawah itu, kan? Ya, orang-orang di sana itu adalah kesatria kerajaan yang bertugas menjaga Mina dan Gida.”
“Mina dan Gida, sepasang peri, ya. Ada bangsa peri juga di dekat sini ternyata.”
“Bukan,” sanggah Celeso. “Aku bisa memastikan tidak ada spesies selain manusia di Kerajaan Superbia serta negara tetangganya. Mina dan Gida mengatakan mereka berasal dari negeri yang jauh dari sini. Dulu ketika kecil mereka meninggalkan negeri mereka dan ikut berpetualang bersama para musafir. Hingga akhirnya mereka sampai kemari dan mulai tinggal di tempat ini.”
Kalos tersenyum antusias. “Keren. Baru saja di perjalanan, aku sudah melihat sesuatu yang belum pernah kulihat sebelumnya.”
Hari semakin terik. Matahari berada di atas ubun-ubun. Kalos dan Celeso memutuskan beristirahat sebentar di sebuah pedesaan yang berpopulasi kecil. Sebenarnya mereka hanya butuh satu jam lagi untuk mencapai pusat kerajaan. Namun, Celeso mengajak berhenti sambil mencoba minuman khas desa ini yang dijual di salah satu kedai kecil.
“Aku berkunjung ke kedai ini setiap kali melewati desa ini saat menuju villa. Mereka punya minuman yang lezat. Aku ingin kau mencoba juga,” kata Celeso saat menuruni kuda.
Kalos yang juga ikut turun menjawab dengan santai. “Menarik.”
Kedai yang bernama Ayaka itu dimiliki oleh seorang pria tua bernama Kaguro yang ditemani dua anaknya, Ayaka (nama kedai ini diambil dari namanya) dan Magure. Saat Celeso dan Kalos memasuki tempat itu, kedatangan mereka disambut oleh senyum Ayaka.
“Selamat datang, tuan. Silakan. Ingin duduk di mana?” tanya gadis itu.
“Di sana,” sahut Celeso menunjuk salah satu meja sambil memamerkan senyum genitnya. “Tolong menunya, ya, Ayaka.”
“Baik, Tuan. Silakan menunggu di meja itu. Akan saya antarkan menunya.”
“Keparat tua,” maki Kalos dengan suara rendah. “Kau kemari karena ada cewek cantik, kan?”
“Hah. Itu kan hanya bonus. Makanan dan minuman di tempat ini beneran enak kok.”