Suara AC berdengung rendah, anginnya menerpa kepalaku, membuat rambutku berantakan dan tulangku ngilu. Ku kerjapkan mata berkali-kali, aku masih di tempat yang sama. Kamar mewah yang didominasi warna putih, dan kedap suara, seberapa kencang pun aku berteriak, tak akan ada yang mendengar. Kini, suaraku sudah habis.
Selain itu, berbagai lukisan tergantung rapat di dinding, semuanya perempuan. Aku tak mengenal setiap wajah yang terperangkap dalam lukisan itu, tapi terkadang tatapan mereka seolah hidup, mereka seperti sedang mengawasiku.
Tak sanggup menatap lama pada lukisan itu, mataku tertuju pada meja bertaplak kain putih tak jauh dariku. Obeng berbagai ukuran terjajar rapi, tali rotan dan beberapa jenis tang ikut menyemarakkan. Sebagian obeng itu berlumur darah. Kembali kurasakan perih di kakiku, tinggal kuku jempol kaki kiri yang masih terpasang. Darah berceceran di lantai, sebagian telah mengering. Bau anyir mau tak mau membuatku mual, padahal itu darahku sendiri. Tapi tetap saja, aku tak suka darah.
Sudah sembilan hari aku dikurung di sini, setiap hari orang gila itu akan mencabut satu kukuku. Ia bilang, hanya dia yang boleh mengambil semua milikku, BRENGSEK! Dia pikir dia siapa?!
Si gila itu juga mengikatku dengan tali rotan. Kencangnya ikatan rotan yang tajam mengiris kulitku setiap aku mencoba bergerak. Aku hanya berharap ada orang yang segera menemukanku. Aku benar-benar sudah tak tahan.
Ceklek!
Suara pintu terbuka membuatku berjengit.