Sejak Hari Raya Nyepi tahun lalu sampai hari besar yang sama tahun ini, Nunuk dan Ninik ingin hidup seribu tahun lagi. Yo mesti ae, Dik. Sejak setahunan terakhir ini kehidupan pasangan ibu dan anak itu memang joss.
Ingin sekeluarga ke gule kacang ijo lengkap dengan roti maryamnya di Ampel, kesampaian. Ingin lihat terumbu karang di Raja Ampat, kesampaian. Itu pas sebelum dirusak oleh kapal pesiar Swedia berbendera Bahama yang tiketnya dijual di Inggris.
Sejak setahun terakhir ini jadwal pesiar keluarga tersebut tepat waktu. Tak ubahnya kereta api. Semeleset-melesetnya, ya, kayak jadwal pesawat kalau sedang ndak terlalu meleset.
Dulu apa saja acara keluarga yang sudah mereka skedul-kan matang-matang jadi berantakan. Saat pulang kerja, Nono, suami Nunuk, seperti kuntilanak. Ndak bisa dipegang. Kok dipegang, diraba-raba seperti maunya uang kertas saja ndak mungkin.
Mereka sudah janjian bertiga mau makan bareng di restoran Padang di Mojokerto. Pas tiba dong-nya Nono telepon, “Sorry. Gawean belum kelar. Tiba-tiba ada gubernur yang mau menghadap bosku. Tapi mungkin juga karena dipanggil. Kasih tahu Ninik jangan muring-muring9.”
Ninik ndak uring-uringan, tapi manyun10. Nunuk paham. Itu hari terakhir restoran tersebut mempertahankan keasliannya. Kasir sampai tukang korah-korah11 piring semuanya orang Padang. Itulah hari terakhir keaslian warung dengan atap bertanduk itu.
Mulai besok, restoran beratap gaya Minangkabau itu akan mengamalkan kebinekaan. Karyawannya beragam dari orang Madura, Bugis, Batak, Manggarai, dan lain-lain. Satu-dua saja yang asli Minang.