Talita, Tentang Sebuah Nama

Faristama Aldrich
Chapter #2

Bagian Satu

April 2006.

Genap sudah satu kali masa revolusi tepat pada hari ini.

Masih terkenang betapa indah imaji tercipta tentang seorang gadis bernama Aerish yang kini sudah tidak ada lagi di perimeter raga ini. Sungguh segenap citranya masih jelas berkutat di kepala, tiada pernah pudar walaupun hanya seutas senyum.

Untuk kedua kalinya sekolah mengadakan karyawisata ke Ibukota Provinsi Jawa Barat yang dikenal sebagai Kota Kembang. Bandung. Setiap sudutnya selalu menyuguhkan seberkas semara yang terus saja mengarah kepada gadis itu.

Pagi ini aku pergi ke sekolah dengan menggunakan angkutan umum. Tidak mungkin rasanya menitipkan motor pinjaman Ayahku ini di saat kami harus berkaryawisata ke Bandung selama tiga hari dua malam. Jelas Pak Dayat tidak ingin menjaga sebuah kendaraan berkubikasi seratus-dua-puluh-lima-sentimeter itu di sana.

Gugusan Nimbostratus masih saja mendekap langit Jakarta, menemani setiap langkah insan yang memulai aktivitasnya pagi ini menjajaki jengkal-demi-jengkal aspal ibukota.

Sejenak saat tiba di sekolah, aku menghela napas begitu panjang tatkala melihat bus dengan warna dan merek yang sama terparkir tidak jauh dari sekolah. Sekali lagi imaji itu berterbangan, menelusupkan seluruh kenangan indah tentang gadis itu.

 Sekumpulan siswa kelas XI tengah berbaris rapi di sudut lain, enggan rasanya raga ini berbaur di sana. Sejenak kugelengkan kepala, bergeming di seberang jalan seraya menatap ke arah barisan bus yang mengepulkan hasil pembakaran tidak sempurna hidrokarbon.

Alih-alih berkumpul untuk mendengarkan pengarahan dari kepala sekolah, aku lebih memilih untuk menginjakkan kaki di atas bus yang sudah ditandai sebagai bus untuk XI IPA I; berada di posisi paling depan.

Sungguh, aroma interior bus ini masih menyisakan kenangan begitu menyesakkan atas sosok yang sekarang berada di sekolah lain.

“Tama,” panggil suara itu seraya ia menghampiriku.

“Talita?” tanyaku tidak percaya, “lo gak ikutan yang laen?”

Ia menggeleng pelan, senyumannya yang begitu khas membuatnya terlihat begitu manis di antara sorot bola matanya yang cokelat dan mengkilap. Tanpa banyak kata, gadis itu lalu duduk di sebelahku, seolah tiada menghiraukan bahwa ia sudah memiliki kekasih saat ini, Lingga namanya.

Setidaknya itu yang kutahu.

“Kamu sendiri kenapa juga gak ikutan juga?” tanya gadis itu begitu penasaran seraya menatap penuh selidik.

Aku mengangkat kedua pundakku pelan. “Entahlah, gue agak males aja keluar soalnya.”

Hening. 

Sesaat hanya suara sayup dari jalanan, menelusup melalui celah jendela kecil yang terbuka di pintu depan, dipenuhi oleh deru mesin yang terus menerus mendesah, memagut indraku dengan suara monoton.

Sesekali suara klakson terdengar cukup nyaring, menandakan bahwa beberapa orang nampak meluapkan emosinya dalam bentuk harmoni dua frekuensi yang cukup menyatakan urgensi mereka.

“Kamu kepikiran apaan sih?” tanya Talita, ia tertawa kecil masih menatap ke arahku.

Kugelengkan kepalaku pelan. “Cuma inget tentang Bandung, sama Aerish yang pasti.”

“Eh Tam,” panggil gadis itu, sesuatu yang tidak perlu ia lakukan karena aku berada di sebelahnya saat ini.

“Hum?” gumamku.

“Aku boleh enggak duduk di sini?” Ia sedikit mengalihkan pandangan.

Tanpa banyak berpikir, kuanggukkan kepala pelan. “Bebas Lit, lo boleh pilih di kiri ato di kanan.”

“Aku di pinggir jendela, boleh?” tanyanya pelan, dan hanya kujawab dengan anggukan.

Kualihkan tubuh ini untuk berdiri, membiarkan sosoknya untuk masuk ke dalam jok berkapasitas dua penumpang di sebelah kiri lalu duduk di sebelahnya.

Entah apa yang ia pikirkan saat ini.

Aku bahkan tidak terlalu dekat dengan gadis ini, terlebih ia adalah salah satu murid di kelas yang cukup pendiam. Parasnya begitu manis dengan potongan rambut medium, lebih panjang dari rambut Nadine; membuatnya makin menggemaskan tatkala sorot ini terkadang mengagumi keindahannya.

Sudahlah, apa pun itu, ia adalah milik Lingga, bahkan dari sebelum ia masuk SMA.

Lagi-lagi, setidaknya itu yang kutahu.

“Eh Tam, kamu kan jago tuh komputer,” ujarnya memulai pembicaraan setelah sekian lama kami hening, menikmati kabin bus buatan Swedia ini. “Pulang study tour bisa kan benerin komputer aku?”

“Kenapa lagi emangnya komputer lo?” tanyaku penasaran.

“Abis minjem gim dari kamu itu loh kemaren, terus komputer aku gak bisa booting,” ujarnya seraya tertawa kecil.

“Sebenernya gara-gara aku panik sih Tam, tiba-tiba Ayah aku dateng, terus aku langsung matiin pas aku lagi maen gim.”

Aku masih mengingatnya, awal tahun yang lalu ia sempat meminta kepadaku sebuah video gim. Saat itu yang terpikirkan olehku adalah sebuah gim yang seharusnya tidak kumainkan di usiaku sekarang.

Ia tampak begitu antusias tatkala menceritakan pengalamannya bermain gim tersebut, hingga dua pekan setelahnya ia meminta satu video gim lagi. Tentu saja aku mengabulkannya. Dari sanalah ia mulai membangun komunikasi.

Meskipun seperti yang dikatakan barusan, aku tidak terlalu dekat dengannya.

“Lagian lo udah tau punya gim begituan, maen di ruang tengah,” ujarku tertawa kecil seraya memandang ke arahnya.

“Abisnya seru Tam, apalagi yang kamu kasih terakhir, asli itu seru banget,” ujarnya dengan wajah memerah.

Aku menghela napas seraya menggelengkan kepalaku pelan. “Lo itu Lit, cewek kan gak demen gim begituan, ini kenapa lo demen deh?”

Lihat selengkapnya