April 2006.
“Kamu masih ada rasa kah sama Aerish?” tanyanya pelan, seraya menghentikan langkah yang saat ini tampak begitu berat.
Sorot ini langsung tertuju ke arah gadis itu, wajah merahnya tampak sangat penasaran menanti untaian lisan untuk menjawab pertanyaan yang seharusnya sudah diketahui jawabannya. Kuhela napas, diakhiri dengan senyuman yang mungkin terlihat cukup aneh bersama dengan anggukan kepala pelan.
Tidak ada ekspresi apa pun kecuali seutas senyum, terlihat pahit bersama dengan sorot matanya yang nanar. Bagaimanapun, ia pasti mengetahui maksud di balik senyuman itu tanpa harus menunggu frasa apa pun terlontar dari lisan ini.
“Ternyata kamu setia juga ya Tam.” Ia lalu tertawa kecil, terlihat palsu setelah apa yang ditunjukkannya barusan.
“Emang gak mungkin apa ada hati laen yang ngisi di hati kamu gitu?” tanyanya lalu menggerakkan lagi kakinya, memimpin langkah untuk menuju tempat di mana kami harus melakukan penelitian.
Sepasang jemarinya tampak begitu luwes memagut tangan ini, ia bahkan tidak peduli dengan tatapan penuh sinis dari beberapa orang temanku yang lain. Begitu ringan langkahnya terpimpin hingga akhirnya kami tiba di depan pintu aula.
“Entah,” jawabku mengambang. “Gue juga gak tahu kenapa hati gue begitu terpaku sama Aerish.”
“Kamu lucu ya Tam, tapi aku seneng sama prinsip kamu buat setia.”
“Gak ada alasan gue Lit buat gak setia sama perasaan gue sekarang,” ujarku lalu menghela napas. “Seenggaknya gue bisa terus semangat karena mikirin Aerish.”
“Buka hati kamu Tam,” ujar Talita, ia berhenti lalu membalik tubuhnya tatkala banyak siswa berjalan masuk melewati kami. “Setia itu enggak harus bertahan sama satu pilihan kan?”
“Maksud lo?”
Ia menggelengkan kepala seraya tersenyum, lalu membalik lagi tubuhnya dan menarik tangan yang masih terpagut genggaman kedua jemari lembutnya, memimpin langkah agar cepat sampai di sebuah aula di mana kami akan mendengarkan presentasi dari perwakilan institusi pengelola tempat ini.
Semua siswa kelas XI membaur menjadi satu, seolah tiada batasan antara satu angkatan kelas IPA. Namun Talita adalah gadis yang cukup dikenal, banyak dari mereka yang sedikit terkejut mendapati jemariku digenggamnya saat ini.
“Di sini aja Tam,” ia lalu memilih salah satu kursi yang letaknya agak di belakang, di sebelah seorang guru penjaga UKS.
Ia adalah lulusan Sekolah Kedokteran yang menjabat sebagai guru penjaga UKS, meskipun pada kesehariannya ia lebih banyak berdiam di perpustakaan.
Ia menyunggingkan senyuman ke arah kami, meskipun terlihat agak aneh bersama dengan tanya yang menyeruak atas presensinya di sini saat ini. Seharusnya ia tetap berjaga di ruangannya karena murid kelas X dan XII masih berada di sekolah, mengikuti jadwal pelajaran seperti biasa.
Sekali lagi, aku tidak mengacuhkan apapun itu. Kedatangannya di sini pun tidak mengubah apapun tentang segala apa yang terjadi sedari pagi kepadaku.
Talita.
Ia sedari tadi masih belum melepaskan pagutan tangannya, padahal ia tampak serius mendengarkan pengarahan yang cukup inspiratif dari orang yang saat ini berbicara di atas panggung setinggi satu meter tersebut.
“Tam,” panggil suara itu yang begitu kukenal itu seraya menoleh. “Lo dari tadi nempel terus sama Talita, naksir ya?” tanya Nadine, nadanya meledek; terkekeh seraya menepuk-nepuk pundakku agak kencang.
“Kagak,” jawabku singkat. “Gue cuma nemenin dia aja.”
Talita memandang ke arahnya, menyunggingkan seutas senyum di bawah cahaya lampu temaram, berpendar di sekitar ruangan yang mulai riuh karena obrolan sekumpulan remaja.
“Tama mana mungkin naksir sama cewek selaen Aerish.” Talita tertawa kecil, disambut oleh senyum penuh makna dari Nadine.
“Ya lo tau lah Lit, Faristama Aldrich itu anak yang aneh.” Nadine lalu tertawa, meledek keteguhan hati yang kubangun hanya untuk Aerish, mengejek kesempurnaan cinta yang digenggam sendiri untuk gadis yang saat ini mungkin sedang belajar di sekolahnya.
“Cape deh,” ujarku lalu menghela napas.
“Lah, lo masih megang tangannya Tama aja, kenapa emangnya Lit?” tanya Nadine yang akhirnya penasaran dengan pagutan kedua jemari Talita di tanganku.
“Aku takut ilang, makanya aku pegangan sama Tama,” ujar Talita, lalu tertawa kecil.
Lagi-lagi untaian senyum pahit di atas sorot nanar itu terlontar ke arah Talita. Ia tidak bisa menyembunyikan ekspresi itu di bawah temaramnya sinar kekuningan yang ada di atas aula ini.
Bukannya logika ini alpa.
Namun, ada sebuah semboyan yang tersirat dari pandangannya barusan, dan tiada kemampuanku untuk menerjemahkan itu. Sekali lagi, aku tidak ingin mengambil pusing tentang apa yang ia simpan di dalam pikirannya.
Setelah penjelasan sedikit panjang dari pihak institusi satu per satu siswa mulai meninggalkan ruangan ini. Kami bertiga masih bergeming tatkala teman sekelas kami hanya memandang dengan tatapan sinis seraya berlalu.
Talita masih saja membiarkan pagutan jemarinya di tanganku, membuat Nadine tampak sedikit canggung seraya menyapu pandangan ke mata ini. Terlihat hela napas begitu berat sejenak sebelum ia memutuskan untuk beranjak dari tempatnya duduk.
“Gue duluan ya,” ujarnya pelan lalu melaju, tanpa menoleh ke belakang.
*****
Talita masih berada di perimeterku selama tugas mengerjakan semua tugas dari pihak sekolah. Sesekali ia tampak berbincang dengan teman sekelasku yang lain, namun akhirnya ia bergabung lagi ketika sudah selesai.
Setelah serangkaian kegiatan yang dijadwalkan kepada kami selesai, tibalah saatnya makan siang. Bukan sesuatu yang spesial, hanya nasi kotak yang berisi ayam bakar, lalapan, sambal, serta kerupuk dan satu buah pisang. Sederhana tetapi nikmat, itu yang selalu kuucap dalam hati seraya lidah ini terus mengecap butir demi butir nasi yang hendak ditelan.
“Tam,” panggil Talita pelan. “Aku pergi sebentar boleh?”
“Lah, kenapa lo tanya gue, pergi mah pergi aja Lit,” ujarku santai.
Ia tersenyum. “Tadi kan aku janji mau cerita, tapi kayaknya aku ada sedikit urusan.”
Aku menangguk pelan seraya tersenyum kepadanya. “Santai aja Lit, masih banyak waktu kok.”
Andini, gadis yang merupakan sahabatnya sejak mereka masih duduk di bangku SMP menatapku sinis sebelum akhirnya mengajak serta Talita bersamanya. Tidak lama, sang Ketua OSIS yang juga telah menyelesaikan makan siangnya datang menghampiri bersama dengan seutas senyum simpul, tampak lebih alami kali ini.
“Tam, lo udah nyelesaiin modul yang dikasih Pak Galih?” tanyanya lalu duduk di sebelahku.
Aku mengangguk pasti. “Udah lah, cuma begini doang sih gak perlu muter-muter tempat ini, gue udah bisa isi.”
“Percaya iya percaya, lo mah beda.” Ia tertawa kecil meledek seraya menarik modul yang dimaksud dari tanganku.
“Abis ini kemana kita ke mana, Nad?”