April 2006.
Sejenak ia memandangku dari atas ke bawah. Senyumnya sesekali terkembang bersama dengan tertawa kecil lalu memandang lagi ke arah mata ini. Ia melangkah lagi maju unutk menyandarkan lagi tubuhnya di raga ini.
“Kalo aku nilai kamu dari fisik, jelas kamu gak ada apa-apanya sama Kak Lingga. Tapi kalo rasa nyaman itu, aku cuma bisa dapet dari kamu Tam.”
“Kenapa lo bisa ngerasa kalo nyaman itu ada di gue?” tanyaku keheranan. “Seharusnya kan lo bisa dapet itu dari cowok lo?”
Ia menggeleng pelan. “Justru itu yang aku gak tau. Entah kenapa aku malah ngerasa nyaman ada sama kamu ketimbang sama Lingga.”
Seketika hawa terasa lebih dingin seraya embusan angin terasa semakin santer. Gugusan mega yang sedari tadi berbaris sombong seolah tak kuasa lagi menaha bebannya. Curahan air langit deras nan lembut seolah tumpah di atas kami. Menimbulkan suara riuh saat butir demi butir beradu dengan dedaunan, menggemercikkan harmoni yang begitu menenangkan seraya menebarkan harum petrikor; amat menyejukkan.
Tanpa aba-aba, kutarik lembut tangan Talita untuk segera berteduh di tempat terdekat. Kebetulan, di dekat sana ada halte. Tepat di belakangnya ada warung yang belum buka.
Aku tidak tahu pasti, apakah memang seperti itu atau terbengkalai. Namun, karena bangunan itu memiliki atap lebih besar, tanpa pikir panjang, kuajak gadis itu untuk berteduh di sana, bersembunyi dari derai hujan yang mengganas.
Gadis itu menatap di antara cahaya siang yang begitu seadanya saat ini. Segala keadaan ini langsung menerbangkan segenap imaji tentang peristiwa setahun yang lalu bersama Nadine di Tangkuban Parahu. Meskipun aku mengaku bahwa Aerish adalah gadis yang begitu dicinta saat itu. Namun, kenangan tentang Nadine tidak akan pernah alpa begitu saja.
Kali ini, Talita adalah gadis yang berada bersamaku di bawah guyuran hujan Kota Bandung yang selalu membangkitkan segenap kenangan yang telah tercipta di setiap detiknya.
Harum air bercampur daun, bersama dengan embusan angin yang selalu saja menerpa kulitku tanpa henti langsung membawa suasana siang ini menjadi syahdu. Ia tanpa canggung mendekap tanganku dengan erat, meskipun tidak mengarahkan wajahnya.
Aku hanya berdiri, mematung seraya lisan yang terkunci akan apa yang dilakukan oleh gadis ini. Harum tubuhnya benar-benar bisa kuendus dengan begitu jelas. Sontak makin menguatkan getaran yang sedari tadi tercipta.
“Lo kenapa, Lit?” tanyaku, masih belum memahami benar dengan apa yang dilakukannya.
“Gak apa-apa,” ujarnya pelan, “cuma, jarang banget aku bisa ngerasain ini dari seorang Faristama yang selalu dingin dan enggak peka.”
Seketika frasa itu menghentakkan tubuhku. Instruction set di kepala ini sekali lagi terhenti mendengar celoteh manja yang terlontar barusan. Sungguh setiap detik yang berlalu di bawah guyuran hujan menjadi begitu makin berharga.
Curahan air langit pun seolah tidak lelah untuk membasahi aspal dan beton yang melapisi tanah. Butirannya menari-nari begitu lincah, menggenangkan setiap kesejukan bagi siapapun.
“Kenapa lo nilai gue begitu?”
Gadis itu mengeratkan dekapannya di tanganku. “Dulu aku mikir, cowok yang jago basket, jago gitar, ato penampilannya menarik itu selalu jadi cowok idola.
“Tapi, entah kenapa sejak aku kenal kamu, semua kriteria yang ideal menurut aku ilang.
“Seorang Faristama Aldrich, bukan anak jago basket kayak Kak Ori, atau juga gak jago gitar kayak Kak Lingga, apalagi penampilannya juga gak menarik.
“Aku gak tahu kapan aku mulai ngerasa, ya seorang cowok itu kayak kamu Tam. kamu selalu tampil adanya dengan dasi kamu yang selalu rapi dari pergi sekolah sampe pulang.
“Aku selalu kagum karena kamu gak pernah coba cari role model buat diri kamu menarik,” ujar Talita pelan.
Aku menghela napas, saat mengetahui tubuh mungil gadis ini bergetar. Sweter hitam itu seolah tiada mampu membendung udara dingin yang saat ini menyelimuti dan menusuk tubuh kami dengan perlahan.
Sejalan, aku melepas dekapan tangan Talita, ia hanya menatap penuh keheranan bersamaan wajah yang merahnya; terlihat jelas meskipun pendaran sang Sol masih tertutup mega yang begitu pekat bergantung di atas kami.
Air wajah kecewa tersurat dari sorot matanya yang begitu nanar saat ini.
Alih-alih tetap di sampingnya, kuposisikan tubuh ini tepat di depannya, menghalangi curahan air langit yang semakin tak terkendali. Sejenak aku bisa merasakan napas yang terhela begitu santer di belakang. Tidak etis rasanya menatapnya langsung dalam kondisi seperti ini.
“Ta-Tama,” panggilnya pelan. “Nanti kamu sakit loh.”
Kuhela napas. “Cuma tampias air ujan doang kok, lagian dari pada lo yang sakit, kan mendingan gue yang sakit. Gue gak pengen lo sampe kenapa-napa.”
“A-aku gak tahu harus ngomong apa,” ujarnya pelan, “tapi aku baru bener-bener ngerasa dilindungi sama kamu sekarang.”
“Gue yang harusnya bilang makasih sama lo. Gak nyangka ada cewek yang nilai gue kayak begitu.
“Gue gak lebih dari seorang yang mungkin gak menarik, ya lo tau kan.”
“Justru itu Tam,” sahutnya, “kamu itu beda sama cowok-cowok yang pernah aku kenal, yang justru coba buat jadi orang lain.
“Sementara kamu tetep jadi diri kamu yang mungkin menurut kamu gak menarik. Tapi jujur aku suka banget sama semua sikap kamu yang kayak begitu, gak pernah coba buat jadi orang lain. Aku gak tau udah berapa kali ngomong ini sama kamu, tapi aku suka karena kamu apa adanya Tam,” ujar Talita pelan.
Untuk kesekian kalinya degup jantung ini melonjak begitu tajam.
Segenap sadarku langsung menyembul di antara hening yang begitu menyiksa. Segala ucapan Talita barusan seolah menyadarkan tentang sesuatu, bahwa ada hati lain yang begitu memperhatikanku, mencoba mencari celah di antara keteguhan akan semesta rasa kepada Aerish, termasuk gugusan rasa kecewa yang selama ini terpendam.
Sungguh, Talita seolah berhasil menemukan celah itu. Mengisinya dengan bentuk perhatian lain yang tidak pernah kusangka sebelumnya. Baru kali ini aku merasakan kehangatan lain di dalam diriku, selain dari apa yang telah Nadine dan Shinta berikan.
Lagi-lagi lisan ini terkunci, menikmati tiap detik yang berlalu bersama Talita di bawah guyuran hujan yang tampak belum ada tanda-tanda menyerah dari atas sana.
Suara gemuruh petir pun sesekali terdengar cukup menggelegar, seraya kilatan cahaya tampak merobek mega yang begitu gelap di atas kami.
“Makasih,” ujarku setelah sekian lama aku terdiam. “Sekali lagi, makasih.