April 2006.
“Aku mau kamu,” ujarnya ragu.
Jantungku masih berdegup begitu kencang saat ia tak kunjung mengutarakan frasa yang harusnya terlontra. Bahkan kubalik tubuh ini, mengarahkan wajah yang hanya berjarak sepuluh-lima-belas-sentimeter darinya. Wajah putihnya terlihat begitu merah bersama dengan sepasang bibir yang tampak sedikit terbuka, seolah ada frasa tertahan di baliknya.
“Apaan Lit?”
Ia menggelengkan kepalanya pelan. “Nanti aja, abis makan malem, aku tunggu kamu ya.”
Curahan air langit pun berangsur mereda bersama dengan kencangnya embusan angin, meninggalkan harum yang begitu menenangkan bagi laraku kini.
“Udah redaan nih, mendingan kita balik ke bis deh.”
Gadis itu mengerucutkan bibirnya, merengut seraya menghela napas. “Padahal aku seneng ada di sini sama kamu.”
Aku mengangguk pelan. “Tapi kita harus balik, kalo enggak nanti kita ditinggal.”
Kali ini jemariku yang meraihnya, tiada penolakan melainkan seutas senyum begitu indah terukir di sana. Baru kali ini kurasakan genggaman tangannya begitu hangat, seolah mentranslasikan segenap asa yang sedari tadi terjebak di sanubari.
Kupimpin langkah menyusuri jalan kembali menuju tempat parkir bus. Beberapa kali aku harus benar-benar menuntun gadis ini agar tidak tergelincir, basuhan air langit yang begitu deras benar-benar membuat genangan di mana-mana.
Setelah berjibaku dengan jalanan basah, akhirnya kami tiba di lahan parkir tempat bus kami berhenti. Di sana sudah menunggu setengah isi kelas yang tampak melekatkan sorot mata mereka ke arah kedatangan kami. Jelas mereka terpaku melihatku menggenggam jemari mungil Talita.
Makin kami mendekat, makin sinis pula sorot mata mereka menguliti kami. Tentunya dengan segenap pertanyaan yang mungkin sulit kujawab.
Kuhela napas panjang tatkala Nadine langsung menghampiri, menghadang seraya meletakkan kedua genggaman tangan di pinggangnya sendiri. Pandangannya begitu tajam di balik kacamata Lexington yang biasa dikenakan, sungguh ia tidak dalam kondisi bersahabat sekarang.
Ia menggeleng cepat; tidak ada senyum yang teruntai dari bibirnya, hanya untaian sinis yang menyiratkan asa bernada minor, benar-benar begitu terasa saat ia berada hanya dua-puluh-sentimeter di depan tubuhku.
“Lo kemana aja, Tam?” tanya Nadine, nadanya agak tinggi.
“Maaf, Nad, bukan salah Tama,” ujar Talita, ia berusaha untuk membelaku sejurus kemudian melepas pagutan jemarinya.
Aku memandang Talita dan menggeleng, memberikan semboyan untuk tidak melindungi alpa ini dengan kata-katanya. Sang Ketua OSIS masih terus saja menatap dengan amarah yang terkonstelasi di sepasang matanya.
Kuhela napas pendek dan tajam lalu menghirup zat bernomor atom 8 yang biasa mengisi alveolus ini dengan cepat. “Gue yang ajak Talita tadi, soalnya lo juga tau kan kalo gue udah kelarin tugas. Gak ada yang harus lo masalahin kan, Nad?”
“Lo itu Tam!”
Aku terperanjat mendenga suara Nadine yang begitu menggelegar, menghentikan riuh obrolan separuh teman-teman sekelas yang belum masuk ke dalam bus. Sontak seluruh mata tertuju kepada kami bertiga.
“Gak mikir apa gue dari tadi nyariin lo, ujan-ujan sampe baju gue basah! Lo malah jalan-jalan sama Talita, mikir dong Tam! Kalo lo sama Talita kenapa-napa, gue yang Ketua OSIS yang repot nanti!”
Oh, baiklah.
Aku tahu, ini adalah salah. Namun, berargumen dengan nada setinggi putaran 19,000 RPM bukanlah hal yang etis dilakukan di tempat terbuka seperti ini. Sungguh, aku tahu maksud gadis ini baik, tetapi apa yang ia lakukan seolah seperti mencoreng arang di wajahnya sendiri. Makin menegaskan predikat sinis yang telah disanding sejak kelas X.
“Lo gak pernah belajar dari kesalahan lo, Nad,” ujarku tenang, berusaha menahan kekesalan yang kurasakan akibat bentakannya barusan. “Lo seharusnya bisa posisiin diri kita lagi ada di mana.
“Sekarang gue sama Talita udah balik dan baik-baik aja. Jadi mendingan lo gak perlu buang-buang tenaga buat marah-marah di tempat kayak gini.”
Sekali lagi, kugenggam tangan Talita untuk menaiki tangga bus yang sedikit tinggi ini. Tidak ada bentuk perlawanan apapun dari gadis itu saat aku menuntunnya untuk duduk di sebelah, seperti sebelumnya.
Ia kembali duduk di kursi sebelah kiri, dekat dengan jendela. Tiada sepatah frasa pun terucap dari lisannya setelah insiden kecil kami dengan Nadine tadi. Bukan kami, lebih tepatnya aku dan Nadine.
Tidak butuh waktu lama setelah Nadine naik ke bus, akhirnya seluruh siswa kelas memasukinya dengan alunan nada minor yang masih terdengar. Saat sistem suspensi udara bus ini kembali naik; mesin delapan silindernya langsung memberikan momen puntir ke roda belakang.
R134 terkompresi di peranti besutan Thermo King yang terpasang di bus ini bahkan menyemburkan udara yang begitu menusuk, tatkala meter-demi-meter bus ini melaju, membelah guyuran hujan di Bandung pada siang ini. Sejenak, kualihkan pandang ke arah Nadine secara kebetulan duduk persis di seberang raga ini, di sebelah kanan dekat jendela.
Ia tertunduk, tubuhnya memang basah, bahkan aku bisa melihat dengan jelas tank top pirus yang berada di baliknya. Sesekali ia memeluk sendiri tubuhnya, aku tahu saat ini ia bertarung dengan dinginnya penyejuk udara yang menghujam tanpa ampun.
Tanpa kuduga, Talita melepaskan sweternya dan menatapku. “Kayaknya Nadine lebih butuh ini ketimbang aku, Tam.”
Aku mengangguk pelan seraya menerima sweter yang sudah hangat bersama harum tubuh Talita. Sungguh, enggan rasanya aku menghampiri gadis itu dan memberikan sweter ini setelah apa yang terjadi.
Kupejamkan mata seraya menghela napas panjang beberapa kali, tampaknya Talita mengetahui itu.
“Udah, Tam,” ujar Talita pelan, seolah meyakinkan hatiku. “Apa pun itu, Nadine lebih butuh kamu ketimbang aku sekarang.”
Kuhela napas panjang sekali lagi. “Gue paham Lit.”
Kualihkan tubuh untuk melintasi lorong yang berjarak kurang dari satu meter ini, lalu duduk di sebelahnya. Gadis ini tampak sudah mengetahui bahwa aku akan datang. Ia hanya menyapu pandang, memaksakan senyum di atas sorot yang begitu nanar.
Kemudian ia membuang pandangannya ke luar jendela.
“Lo pake sweter gue,” ujarku, “tapi lepas dulu baju seragam lo, nanti lo malah masuk angin.”