April 2006.
“Sebenernya aku itu maunya,” ujar Talita ragu.
“Aku maunya gak cuma semalem doang,” ujar Talita pelan, ia menundukkan wajahnya, menyembunyikan segenap ekspresi dari jangkauan pandangku. “Tapi aku tau permintaan aku terlalu berlebihan.
“Andai aku bisa ada di deket kamu terus kayak gini,” ujarnya lagi, sejurus memandang ke arahku dengan wajah yang sangat merah.
Jantung ini berdegup begitu kencang, tetapi aku berusaha untuk tetap tersenyum. Entah apa yang harus kukatakan kepadanya.
Seluruh lisanku kini benar-benar terkunci di tengah kerongkongan. Tidak ada hal yang dapat kutenggarakan seraya nanarnya pandangan Talita yang menyita detik demi detik waktu dalam kebisuan ini. Makin menjerat asa dalam sebuah perasaan yang sungguh tidak berujung.
Hanya suara klakson kendaraan dan riuhnya mesin-mesin Otto yang terdengar di sekeliling, menghakimi dengan segenap sikap bodohku atas semboyan darinya sedari tadi pagi.
“Aku gak ngerti harus ngomong apa sama kamu,” ujarku pelan. “Aku gak tahu harus gimana. Aku gak pernah ada di tahap ini sebelumnya. Buat aku ini semua kerasa gak nyata. Jujur aku bingung harus ngapain sekarang.”
“Ih, Tama mah, kok malah bingung?” ujar Talita manja. “Kan kamu udah tahu apa yang aku mau.
“Meskipun agak anek yah, mungkin aku yang menurut kamu pendiem gini tiba-tiba ngomong hal tadi,” ujarnya pelan, memalingkan wajahnya, seolah menyembunyikan segala rasa yang terpancar dari sorot matanya dari hadapanku.
Aku menggenggam kedua pundak gadis itu, ia sedikit terperanjat seraya menoleh. “Semua orang kan punya karakter masing-masing, jujur buat aku, itu adalah karakter kamu.”
Hening lalu menggelayuti lisan kami. Lagi-lagi hanya suara deru mesin dan juga guliran roda di atas aspal menjadi simfoni begitu setia yang menelusup indra. Matanya masih menyuratkan semesta yang sama seperti tadi siang. Begitu nyaman dan menyenangkan dipandangi lama-lama.
“Sekarang, kita mau ke mana?” tanyaku, menyunggingkan senyum simpul kepadanya.
“Ke mana pun aku mau. Bahkan kalo kamu cuma ngajak muter-muter Lembang juga aku seneng kok. Seenggaknya kita gak di sana, soalnya gak bebas.” Ia tertawa kecil.
Aku mengangguk seraya menggenggam jemari mungilnya dan mulai berjalan menyusuri trotoar ini. Rasanya begitu hangat bersama dengan
“Gak bebas gimana?”
“Nadine,” ujarnya pelan, “pasti dia akan gangguin kita.”
Aku tertawa kecil. “Tenang, aku cuma temenan kok sama dia.”
Ia menghentikan langkah. “Temen tapi segitu care-nya ya?”
Sebentar!
Tunggu sebentar!
Mengapa ia begitu protektif tentang ini semua sekarang?
“Eh, Lit, kamu gak salah tanya gitu?”
Ia merengut, menunjukkan wajah cantiknya dengan cara yang berbeda. “Kamu pikir aku gak cemburu apa ngeliat kamu begitu sama Nadine?”
Aku benar-benar tidak menyangka frasa itu terlontar dari lisannya. Ia tampak bersungguh-sungguh mengatakan itu, bahkan sorot matanya seolah tidak habisnya menguliti relungku.
“Kamu gak apa-apa kan, Lit?”
Ia menggeleng. “Setelah sekian lama aku nyimpen rasa ini, terus setelah kamu denger sendiri, jujur itu butuh keberanian Tam. Andai aja kamu gak ajak aku tadi, mungkin aku masih mendem ini semua.”
Ia mengucapkan itu dengan lirih, hampir-hampir nadanya menghilang di akhir lisan. Sungguh aku tidak menyangka, bahkan jemarinya terasa begitu kuat memagutku, menyatakan keseriusan frasa barusan.
“Maaf, aku gak pernah nyangka ini semua terjadi sama aku.”
“Sama,” ujarnya pelan, “aku yang gak pernah nyangka kamu bakalan nyambut aku sebegitu hangatnya, kupikir kamu ya kayak biasanya yang gak akan pernah gubris aku.”
Kuhela napas. “Maafin aku masalah Nadine, sumpah gak ada niatan aku bikin kamu sedih.”
Ia lalu menggeleng. “Aku yang harusnya gak kebawa ini semua. Bisa jalan berdua sama kamu aja kayak hal yang gak pernah aku pikir sebelumnya, maafin aku ya, Tam.”
“Enggak, kamu gak salah, mungkin karena ini semua terlalu cepet buat aku.”
Ia lalu mengalihkan pandangan. “Mungkin buat kamu begitu, tapi enggak buat aku.”
Entahlah, aku masih belum bisa memahami sepenuhnya apa yang dikatakannya barusan. Namun, mendengar nadanya yang begitu serius, asa ini pun mulai mentranslasikan segenap sikap itu perlahan. Ia benar-benar bukan seperti Talita yang biasanya kukenal.
Sejuknya hawa Lembang seolah mendekap bersama dengan semilir angin berembus, menyisakan asa yang seolah terus tertancap di atas bumi Parahyangan ini.
Gadis itu mendekap sendiri tubuhnya, bibirnya tampak bergetar ketika senyuman manis itu terlontar kepadaku. Aku tahu, ia tidak tahan dengan dinginnya udara di tempat ini yang lebih rendah beberapa centigrade ketimbang di Jakarta.
“Dingin, Lit?”
Sejenak ingin rasanya lengan ini merangkulnya. Namun, segalanya dikalahkan oleh dekapan sepasang tangannya terlebih dahulu di lenganku. Ia tampak tidak canggung seperti tadi siang saat melakukan ini. Bahkan sesekali ia menyandarkan kepalanya.
“Iya, tapi jujur aku seneng bisa jalan sama kamu,” ujarnya pelan. “Ini kerasa kayak mimpi aja bisa ada sama kamu, cuma berdua, di tempat yang bener-bener asing buat aku.”
“Apalagi aku,” ujarku masih melangkahkan kaki makin jauh dari tempat kami menginap. “Ini semua kerasa lebih dari sekadar mimpi. Tau-tau hari ini kamu ada di sebelah aku, kamu ngomong perasaan kamu ke aku. Semuanya kerasa kayak gak mungkin aja.”
Ia lalu menghentikan sejenak langkahnya.
“Banyak yang suka sama Tama, tapi mereka gak ada yang berani ngomong sama kamu,” ujar Talita pelan.
“Karena aku cuek ya?”
Ia mengangguk, mengamini pernyataanku barusan. “Siapa sih yang bilang kalo kamu itu gak cuek?
“Aku masih inget pas MOS kemarin, pas anak kelas X pada mintain tanda tangan kamu sampe ngejar-ngejar kamu. Lucunya kamu ngeloyor aja, cuek gak peduli,” ujar Talita lalu tertawa kecil.
Mungkin itu benar, tetapi sungguh aku tidak peduli.
Sedikitpun tiada rasa congak bergulir di hati mengetahui kefanaan yang terdengar seperti retorika itu. Aku hanya bertahan dengan cinta kepada Aerish. Semua orang, termasuk gadis yang saat ini mendekap erat lenganku jelas mengetahuinya.
Segala yang terjadi dengannya saat ini seolah terasa tidak nyata. beberapa kali bahkan aku mengela napas untuk meyakinkan ini semua.