April 2006.
“Soalnya,” ujarnya ragu. “Kamu kan gak mungkin sampe nikah sama Kevin, Tam,” ujarnya lalu tertawa kecil. “Kalian juga sahabatan kan?”
Aku membalas tawanya. “Ya kan maksud aku sahabat lawan jenis, bukan sahabat macem Kevin ato Andri lah.”
Talita tertawa lepas setelahnya. Ini adalah momen di mana aku benar-benar melihat gadis itu melepas segenap beban yang tertanam di pundaknya. Sungguh, segala apresiasi itu selalu diberikan kepada gadis manapun yang bisa melepas segala sikapnya, tanpa merasa harus menyembunyikan sisi terburuk dari dirinya.
Karena menurutku, seorang gadis yang benar-benar mengutarakan semesta rasanya tidak akan pernah takut terlihat buruk di depan orang yang ia cintai. Tidak peduli seberapa jelek dirinya di mata hati lelaki tersebut. Saat itulah nilai ketulusan yang paripurna bisa diukur.
Kami mulai menyantap makanan yang disuguhkan. Meskipun agak menolak, tetapi akhirnya Talita mengunyah satu bongkah daging yang dipotong kecil tersebut di dalam mulutnya. Eskpresinya sedikit aneh saat mungkin membayangkan seekor kelinci lucu yang tengah ia makan. Matanya terpejam dan seluruh tubuhnya tampak bereaksi saat makanan itu akhirnya ditelan.
Ia lalu menghela napas dan membuka matanya seraya menatapku. “Kamu bener, ternyata enak ya.”
“Kan apa aku bilang,” ujarku lalu tertawa kecil. “Gak usah dibayangin betapa lucunya mereka, karena mereka juga enak dimakan.”
Suasana menghangat di tengah dinginnya dekapan udara pegunungan yang sesekali mengembuskan angin yang begitu menusuk. Tidak jarang kulihat Talita mendekap sendiri tubuhnya. Namun, tidak pernah tersirat sedikitpun bagiku untuk melakukan lebih dari sekadar mengusap kedua jemari mungilnya yang diletakkan tanpa pertahanan di atas meja kayu sederhana ini.
Wajahnya seolah menyiratkan semboyan lima, mengizinkanku melakukan lebih dari ini.
Sungguh, tiada alasan bagiku untuk mencari kesempatan lebih dengan Talita. Tiada inginku untuk melukai segenap pernyataannya melalui sikap yang mungkin berlebihan. Meskipun syahbandar hatinya telah mengizinkan berlabuh lebih dalam, aku tidak memiliki alasan untuk melakukan apa pun yang mungkin terlintas di kepalanya saat ini.
Ia benar-benar mengingatkanku kepada Shinta.
Sejenak, kugenggam jemarinya yang begitu dingin. Ia tidak bisa menyembunyikan bahwa saat ini tubuh mungilnya bertarung dengan hawa Lembang malam ini. Bibirnya yang kemerahan mulai terlihat pucat di atas hela napas yang begitu berat.
“Abis ini kita langsung balik ya,” ujarku seraya menyodorkan bandrek lebih dekat ke tubuhnya.
Ia menggelengkan pelan. “Enggak, aku masih mau di sini sama kamu.”
“Tapi kamu kedinginan, aku lupa kalo sweternya masih di Nadine.”
Senyum getir terkembang tatkala aku menyebut nama Nadine, hal yang tidak terlihat ketika nama Shinta disebut. Apakah ada hal yang mendasari segenap khisit di hatinya terkait Ketua OSIS itu?
“Apa yang sebenernya jadi pikiran kamu pas aku sebut nama Nadine? Bukan sekali dua kali kamu begini pas aku ngomongin dia soalnya.”
Ia menghela napas. “Eng-enggak ada kok, beneran deh. Aku cuma cemburu doang kalo kamu ngomongin Nadine.”
“Shinta?”
Matanya terpejam seraya menggeleng. “Kalo Shinta enggak.”
“Kenapa?”
“Karena aku tahu gimana kamu ke Shinta, dan gak etis aja aku cemburu sama dia. Apa lagi aku tahu sendiri gimana perasaan Shinta ke kamu dari awal.
“Lagi-lagi kamunya yang gak peka,” ujarnya sejurus menundukkan pandangan.
“Harusnya, aku gak pinjemin sweter itu ke Nadine tadi.” Sedikit sesal menyeruak di hati seraya mengingat apa yang terjadi tadi siang.
“Enggak kok,” ujarnya, “jujur aku cemburu, tapi aku juga gak bisa nutup mata hati aku kalo Nadine juga sama kayak Shinta, sama-sama punya rasa ke kamu.”
Hening.
Tiada yang dapat kukatakan setelah segenap frasa terlontar barusan dari lisannya. Kupejamkan mata, menyesali segenap kenaifan terhadap semesta rasa yang selalu bertahan untuk gadis bernama Aerish Rivier yang mungkin juga tidak pernah membalas apa-apa yang telah diberikan.
Shinta dan Nadine.
Bukannya hati ini alpa, tetapi ada alasan yang begitu kuat mengapa aku memilih untuk menghindari semesta rasa itu terjalin kepada mereka. Terlebih untuk sang Ketua OSIS.
“Besok kita beneran ke Bosscha kan yah?” tanya Talita, mencoba melakukan diversi layaknya pebalap yang mengambil sisi luar chicane untuk dapat masuk mendahului dari sisi dalam pada tikungan selanjutnya.
Sejenak aku tidak ingin melanjutkan pembicaraan ini. Aku hanya ingin menikmati malam ini bersama dengan gadis yang bisa dibilang populer di sekolah.
Aku mengangguk pasti. “Ya beneran lah, besok malem kita ke sana.”
“Kirain siang-siang gitu,” ujar Talita lalu tertawa kecil.
“Apa yang mau diliat coba siang-siang?” tanyaku seraya menghela napas, sejurus kulempar pandanganku ke arah langit malam yang begitu indah terlihat dari sini. Sungguh, aku tidak dapat memungkiri, lisan ini berujar kecil tentang betapa sempurnanya ciptaan Sang Jabbar yang terbentang di atas kami.
Sejenak aku berpikir, betapa kecilnya diri ini dibandingkan dengan apa yang terlihat di sana. Butuh hingga ratusan tahun dari kerlipan cahaya bintang itu agar sampai di mataku saat ini. Ya, cahaya yang saat ini kulihat adalah cahaya yang berada di sana jauh sebelum berada di sini, atau mungkin jauh sebelum aku terlahir ke dunia.
“Serius amat, Tam?” tanya Talita, lalu mengikutiku untuk melihat kerlipan bintang di atas horizon yang sebenarnya tidak seberapa kentara itu.
Aku mengangguk. “Karena aku selalu kagum, bintang yang kita liat sekarang itu sebenernya bukan bintang yang sekarang kita liat.”
“Loh, maksudnya?” tanya Talita, ia mungkin sedikit bingung dengan frasa yang kulontarkan barusan.
Aku tersenyum. “Maksud aku, bintang itu.” Aku menunjuk ke salah satu kerlipan bintang yang paling terang yang bisa kami lihat malam ini.
“Bintang itu jaraknya delapan-setengah-tahun-cahaya. Kamu tahu, cahaya merambat di ruang angkasa itu kecepatannya tiga-ratus-ribu-kilometer-per-detik, dan cahaya kelipan yang kita liat di bintang itu adalah cahaya delapan-setengah-taun yang lalu.”
“Bintang apa itu Tam?” tanya Talita seraya mengagumi apa yang ia lihat di atas cakrawala saat ini.
“Sirius,” jawabku singkat. “Bintang paling terang yang bisa kita liat tiap malem.”
“Eh, itu ada yang lebih gede terus terang tuh Tam,” ujar Talita, menunjuk ke arah lain dari bintang yang kumaksud.
“Itu Saturnus, bukan bintang. Kalo pagi ato fajar, kamu bisa liat planet laennya, tergantung bulan apa kamu liat langit.”
“Di bulan April gini sih, harusnya bisa liat Mars, Jupiter, sama Saturnus berjejer pas malem, terus pagi bisa liat Venus sama Merkurius.”
Talita memandangku dengan wajah yang sangat merah. Entah, apa yang ia pikirkan saat aku mengatakan hal-hal yang sebenarnya menurut sebagian wanita adalah hal yang menarik. Namun, bagiku itu adalah dasar pelajaran astronomi yang aku dapatkan saat aku mengikuti olimpiade beberapa bulan yang lalu.
Tetapi, yang paling membuatku berkesan pada malam ini adalah segala kehangatan dan keramahan sikap Talita yang sebenarnya sudah dirasakan sejak menjadi teman sekelasnya. Ia adalah sosok yang lembut dan periang. Tutur katanya yang lembut dan selalu terjaga, baik frasa maupun intonasinya membuat banyak orang menaruh rasa kepada gadis ini.
Lingga adalah pemenang hatinya. Sejak semester kedua kelas X, kakak senior di salah satu ekstrakulikuler di sekolahku tersebut langsung menyatakan cintanya di bawah hujan saat itu. Talita tampak tidak bisa menolak apa yang laki-laki itu utarakan tempo hari. Sejak saat itu hubungan antara Lingga dan gadis ini menjadi makin hangat meskipun saat awal tahun ia tampak tidak pernah berboncengan dengan kekasihnya.
Sudahlah, untuk apa aku memikirkan Lingga. Tampaknya sudah tidak ada lagi nama lelaki itu di hatinya. Segalanya begitu tersurat dari segenap tingkah lakunya di depanku.