April 2006
Seketika kami menyudahi pagutan itu.
Sepasang tangan Shinta masih saja mendekap tubuh seraya kami saling menoleh ke arah datangnya suara itu. Talita, gadis itu memandang kami dengan wajah tidak percaya seraya menggelengkan kepala.
“Kalian ngapain di sini?” sebuah pertanyaan anti-klimaks terlontar dari lisannya, masih dengan bahasa tubuh dan intonasi yang sama seperti kemarin. “Padahal aku dari tadi nyariin Tama pengen tau Venus kalo pagi-pagi.”
Gadis itu melangkah dengan canggung ke arah Shinta berdiri. Seraya ia berhenti tepat di sebelahnya, Talita menyunggingkan senyum yang terlihat mengabang. Shinta tidak lagi mampu menyembunyikan apa pun kini. Wajahnya begitu merah, tatkala sorot matanya terhenti di pandanganku.
“Baru pertama ya?” tanya Talita, menggoda kami dengan terkekeh, melempar pandangan dari Shinta ke arahku.
Anggukan pelan Shinta seolah mengamini pertanyaan Talita yang membuat kami benar-benar tidak dapat berkata apa-apa lagi. Kami hanya bisa saling memandang gadis yang masih saja meledek dengan tawa kecilnya; seolah menusuk-nusuk kami dengan rasa yang tidak dapat kujelaskan.
Antara malu dan canggung.
“Gimana rasanya, Shin?” Tanya Talita. “Aku udah ngeliat dari awal kalian ngobrol kali. Tapi aku diem aja.”
“Eh, ja-jadi kamu ngeliat dari awal?” tanya Shinta dengan nada suara yang benar-benar canggung.
“Gimana ya rasanya, ngelakuin itu sama orang yang paling disayang?” tanya Talita pelan sejurus membuang wajah dan pandangannya ke arah lain. “Tapi kayaknya gak mungkin.”
Talita mengarahkan wajahnya kepadaku. Senyumannya terlihat pahit di antara tatapan yang nanar. Untaian penuh harap terus tersirat dari bahasa tubuh yang menyatakan konstelasi perasaannya.
Tidak ada yang mampu kuucapkan setelah apa yang terjadi barusan. Aku hanya dapat tertunduk seraya sesekali memandang ke arah Shinta yang juga melakukan hal yang sama.
Hening ini benar-benar begitu menyiksa. Tidak ada frasa yang terlontar dari lisan kami. Hela napas Shinta yang berdiri lima-sepuluh-sentimeter dari perimeter terdengar begitu santer saat ini.
“Lo juga cinta?” tanya Shinta pelan setelah hening yang amat menyiksa. “Sama Tama?”
Anggukan pelan Talita seolah menyatakan semesta rasanya. Aku bahkan tidak pernah menyangka bahwa angan semu tentang bagaimana cara gadis itu memandang terjawab bersama dengan senyuman yang terlihat tulus.
Ia kemudian kembali melempar pandangan ke arah cakrawala yang saat ini membiru. Sang Sol sudah membuka matanya untuk kembali menyinari sang Gaia. Cahaya yang dirindukan itu merambat dalam masa lima-ratus-detik di ruang angkasa hingga akhirnya mendekap atmoster.
Gelap di sisi lain horizon seolah menyiratkan bahwa hujan mungkin akan turun hari ini. Sejenak bayu membawa sebuah aroma yang begitu menenangkan. Kecanggungan ini terasa makin santer tatkala sorot Talita terlihat lugas.
Shinta mulai mendekatkan tubuhnya kembali di sebelahku.
Hening ini kembali merundung kami bertiga. Hanya nyanian dedaunan yang berada di sekitar sini menjadi satu-satunya suara paling indah. Tubuh ini terpaku, dibelai begitu mesra oleh embusan angin pegunungan yang sesekali menerbangkan rambut panjang bergelombang milik gadis bertubuh sintal bernama Shinta ini.
“Tapi, emang Tama pantes buat dicinta sih,” ujar Shinta, setelah sekian lama lisannya terbungkam. “Gue gak pernah masalahin siapapun cewek yang mau cinta sama Tama, ato Tama cintai.
“Dia udh lakuin banyak hal buat gue dan gue gak bisa begitu aja ngelarang orang buat bahagia kan?”
Talita tampak sedikit terhentak seraya menatapku. Wajah memerahnya bisa terlihat begitu jelas meskipun cahaya sang Sol baru bersinar beberapa ratus lumens pagi ini. Ia lalu menatap Shinta dengan tidak percaya, mungkin sama dengan apa yang hati ini rasakan ketika mendengar frasa tersebut.
Shinta tersenyum, memagut erat jemariku yang saat ini berada di dekat raganya. Tubuh kami bersandar di depan tiang horizontal setinggi kira-kira 120 cm yang memisahkan kompleks wisma dengan lembah di belakangnya.
Aku tidak mengerti, mengapa gadis senirmala Shinta mampu mengucapkan hal seperti itu? Pernyataannya sungguh mengejutkanku lebih dari pada apa yang dikatakan Talita kemarin. Segalanya lebih indah ketimbang sebuah mimpi bagiku.
“Tama itu kayak tempat ini, kalo enggak dicari, enggak akan ketemu,” ujar Talita pelan. “Aku ngerasa deket sama Tama adalah hal yang paling ngebahagiain buat aku sekarang.”
“Kalo lo mau tau,” ujar Shinta seraya memandang ke arahku, “Meskipun sekarang gue kayaknya jadi pacar Agung. Tapi hati gue gak pernah ada buat dia.”
“Karena sampe kapanpun hati gue, Shinta Adinda cuma punya kamu, Tam. Aku gak akan mungkin singkirin nama kamu di hati aku cuma buat seorang Agung.”
Entah berapa kali lonjakan denyut itu terasa hingga memburamkan kedua mataku. Senyuman kedua gadis yang saat ini hanya berselisih beberapa sentimeter ini pun seolah menambah sesaknya dada ini saat aku berusaha untuk menghidup udara yang sesungguhnya begitu segar pada pagi ini.
Lagi-lagi lisan ini terkunci dengan keindahan yang terasa makin tidak nyata setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Shinta barusan. Terlebih, aku tidak melihat ada khisit tersurat dari sorot mata Talita yang saat ini begitu teduh menatap.
“Asli, aku bingung harus ngomong apa ke kalian,” ujarku seraya menghela napas. “Kayaknya udah abis kata-kata keindahan yang bikin aku gak bisa berkata-kata. Bodohnya aku dengan masih cinta ke seseorang yang namanya Aerish.”
Shinta mengarahkan tubuhnya kepadaku. Ia menggenggam jemari kananku dengan sepasang tangan lentiknya begitu erat. “Justru aku bisa belajar, gimana mencintai kamu dari hal itu. Karena aku yakin, suatu saat kamu pasti paham perasaan aku.”
Aku menghela napas beberapa kali lalu menunduk, sejurus melempar pandangan ke arah Shinta, kemudian Talita. “Makasih buat semua hal yang udah kalian tunjukkin ke aku. Semuanya bener-bener ngasih aku semangat lagi buat enggak terlalu terpaku ke seseorang yang bernama Aerish.
“Aku sadar, aku masih terlalu dibutain sama perasaan aku ke dia, tanpa aku tahu bahwa seorang Shinta Adinda dan Talita Ardisha punya rasa cinta yang mungkin gak pernah Aerish punya buat aku.”
“Masih ada Nadine, Tam,” ujar Shinta. “Kamu juga pasti tahu gimana perasaan Nadine ke kamu kan?”