Talita, Tentang Sebuah Nama

Faristama Aldrich
Chapter #9

Bagian Delapan

April 2006

 

“Kenapa Ta?” tanyaku, seraya dengan bungkam lisannya setelah frasa barusan.

“Sebenernya, aku minta dia buat deketin kamu. Biar kita bisa ketemu pagi ini,” ujar Shinta pelan. “Aku minta dia buat jadi pengalih perhatian Nadine.”

Shinta lalu memandangku. “Karena aku juga tahu, kalo Lita punya perasaan ke kamu. Dia bilang kalo mau bantuin aku buat hari ini. Maafin aku, Tam,” ujar gadis ini penuh sesal, seolah segala beban kesalahan yang ia emban adalah akibat kelalaiannya.

Aku masih belum bisa memproses segenap frasa barusan. Namun, aku tahu ada hal yang menyebabkan mereka merencanakan ini semua sejak awal. Mereka adalah gadis yang begitu nirmala atas kelebihannya.

Aku tersenyum seraya menatap Talita. “Ada satu hal yang aku tahu, kalian jauh lebih tulus dan lebih baik daripada Aerish, lebih-lebih Nadine. Tapi, aku juga gak mungkin pungkiri, kalo rasa yang kalian kasih ke aku pasti akan ada di sana sampe kapan pun.”

Talita lalu menghampiri, sejurus Shinta menjauhkan tubuhnya dan memberikan kesempatan Talita untuk mendekat ke arahku. Tanpa mengatakan satu frasa pun, gadis ini mendekapku dengan begitu erat, seperti apa yang Shinta lakukan kepadaku barusan. Sungguh segalanya terasa begitu imajiner bagiku.

Sejenak aku memandang ke arah Shinta. Ia tersenyum, mengangguk, mengamini apa yang ingin kulakukan kepada Talita. Atas afirmasi yang diberikan, kupagut tangan ini di tubuh Talita.

Aku benar-benar mendekap Talita di bawah digdayanya sang Mega. Kubiarkan jiwa ini tenggelam di dasar perasaan yang benar-benar membuat hati merasakan bagaimana seharusnya cinta itu terbentuk.

Mereka jauh lebih tulus ketimbang gadis mana pun yang kutemui. Aku harus mengakui, semesta rasa ini saling menyambut, mengharu biru bersama untaian indah yang terasa begitu santer menguasai hati.

Tidak berlangsung lama memang, tetapi hangat dekapan Talita terasa begitu berbekas di kalbu. Kedua gadis itu berdiri di jarak yang sama saat ini, tersenyum ke arahku, memberikan sebuah isyarat terenkripsi yang tidak mungkin dapat diterjemahkan dengan keterbatasan asa ini. Kedua gadis itu seolah saling melemparkan miliaran rasa yang terhubung dengan konstelasi pikiranku saat ini.

“Makasih,” ujarku pelan, setelah sekian lama hanya suara gemericik angin yang sesekali berembus menerpa pepohonan yang agak jauh dari perimeter kami.

“Aku gak tau harus ngomong apa sama kalian, yang pasti aku bahagia bisa deket sama orang yang aku rasa tulus ke aku.”

Hening. 

Tidak ada lagi sahutan dari kedua gadis itu kecuali untaian senyum yang makin terlihat seraya tersibaknya sang Sol dari ufuk timur; memberikan sebuah sinar yang begitu indah di antara lengkungan bibir mereka yang mengatakan seluruh perasaan yang mereka miliki.

“Tam,” panggil Shinta pelan. “Makasih juga buat semua.”

Gadis itu tertunduk lesu seraya ia mendekatkan tubuhnya kepadaku. “Aku janji selamanya aku akan terus cinta sama kamu, selamanya cuma kau, Tam.”

Aku menghela napas, menggeleng pelan seraya mengusap pelan rambut gadis ini. “Ta, aku akan coba buat penuhin janji aku.”

“Tapi, kalo sekali aja, aku liat Agung kasar sama kamu, aku gak akan tinggal diem,” ujarku lalu memandang ke arah gadis yang masih menatapku dengan nanar seraya samar-samar suara Nadine memanggil-manggil nama Shinta.

“Mendingan kamu sama Lita keluar dari sini, tinggalin aku sendiri di sini,” tukasku, “aku gak mau Nadine ngelakuin hal buruk lagi dengan ngaduin kita di sini sama Agung.

“Aku juga selalu cinta sama kamu, Ta.”

Dengan rengkuhan pelan, aku mendaratkan Labia oris ini sekali lagi di atasnya. Hangat sambutannya sekali lagi seolah membiarkan sang waktu dan rotasi bumi berhenti untuk kami berdua. Beberapa kali aku melihat Talita agak cemas karena suara Nadine yang makin santer.

Kusudahi semua ini tatkala suara sang Ketua OSIS terdengar jelas di indra. Talita langsung menarik jemari Shinta lembut, meninggalkanku seorang diri di belakang bangunan ini.

Dengan senyuman pahit, kulepas kepergian Shinta, entah untuk berapa lama. Namun, sungguh aku tidak ingin sesuatu yang buruk menimpa gadis itu. Separuh hatiku tidak menginginkan ini, akan tetapi mengingat betapa inferior diri ini di depan Agung, aku harus merelakan ini semua demi kebaikannya.

Sebelum tubuh Shinta menghilang terlebih dahulu, Talita sedikit mengalihkan tubuhnya dan menatap dengan pandangan teduh. Ia melontarkan senyum begitu penuh arti seraya presensinya hilang dari indra.

Aku hanya tinggal sendiri. Menghela napas pelan seraya mendengarkan celotehan samar Shinta dan Talita yang baru saja bertemu dengan Nadine. Beruntung, gadis itu tidak menaruh curiga dengan apa yang terjadi di tempat ini. Hanya saja, segala insiden ini menyisakan sebuah sesak, tak dapat dipungkiri memimpin jiwaku untuk merenung atas apa yang terjadi.

Kusandarkan kedua tangan ini di atas pagar; seraya melempar pandangan ke arah cakrawala yang makin lama membiaskan pendaran cahaya sang Sol; sebuah warna biru pirus yang bercampur dengan kelabu mega dan juga beberapa kerlipan cahaya bintang yang masih kokoh bertengger di sana. Sungguh aku tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.

Kupejamkan mata seraya menikmati sendiri rasa yang tertinggal di sepasang Labia oris, terasa agak kelu karena pagutan Shinta barusan. Sesal pun datang seolah tak henti-hentinya memaki dan menghakimi segenap kebodohan yang telah kulakukan selama ini; tegar dan berdiri untuk tetap mencintai Aerish Rivier yang sebenarnya tidak ada apa-apanya ketimbang seorang Shinta Adinda.

Apa yang kulakukan?

Mengapa aku begitu saja melepaskan Shinta pergi?

Padahal aku sendiri tahu apa yang akan terjadi, kan?

Segenap hinaan itu terus terngiang di dalam kepala, menyudutkan ketidaktegasan hati yang tidak dimiliki dalam memilih gadis yang jelas telah menyerahkan segalanya untukku. Bodohnya, aku malah membuka peluang kepada Aerish atau bahkan Nadine untuk mengisi hati yang saat ini tengah gundah dengan apa yang sebenarnya telah terjadi.

Segala kutukan penuh sesal terngiang sendiri di kepala, menyadari bahwa ada sebentuk hati tulus dan jernih yang telah disia-siakan. Seberkas semara yang seharusnya terus berada di dekapku; menghangatkan segenap dinginnya hati yang tak bertuan semenjak aku merasa hanya Aerish lah yang tepat mengisi hati ini.

Sekarang, aku harus mengemban penyesalan tak berujung di tiap-tiap helaan napas yang teruntai dari ujung-ujung alveoli-ku. Sebuah harga yang mahal harus diterima atas ketidaksempurnaan hati dalam menerjemahkan tiap-tiap bahasa kalbu yang ditorehkan atas nama semara dari Shinta.

Lihat selengkapnya